Tuesday, April 27, 2010

CATATAN RARA


Jakarta 27 April 2010, Selasa, malam jam : 20:28

Mengais Impian Lain


April 16, 2010 at 7:18 am

@Kazoku Japanese Restaurant, Waktu Dinner Indonesia Barat

Rara dan Atma makan malam sepulang kerja.

“Untung aku ikuti saranmu, mas,”Rara langsung membuka obrolan begitu menaruh pantatnya di kursi. Sepintas dari jauh susunan kursi meja makan di restoran ini seperti lesehan, padahal kita duduk seperti biasa dengan kaki menggantung ke liang lantai. Itulah yang orang sebut dengan tatami. Berada di Kazoku bagai dikepung air, sebab sekeliling restoran adalah kaca yang dialiri air. Juga ranting kering yang ditanam mengitari ruangan, kian menambah artistik desain rumah makan ini.

Belum lagi Atma menanggapi, pelayan restoran keburu menghampiri.

“Selamat malam, mau pesan apa ya?”tanya sang pelayan seraya menyodorkan daftar menu.

“Dikau apa, say.”

“Biasalah, set shabu-shabu dan yakiniku. Trus ocha.”

“Cukuplah ya buat berdua. Jadi aku tambah es lemon tea aja.”

“Lah mas, itu kan minuman buat diet? Badan udah setipis itu, minum lemon tea.”

“Ya udah, samain aja.”

“Gak punya pendirian.”

“Biarin,”Atma sewot.

“Oke, saya ulang ya, satu set shabu-sabhu, satu set yakiniku dan dua ocha,”pelayan meneliti ulang daftar pesanan.

“Ya.”

“Silakan ditunggu!”

“Nunggunya pake apa mbak?”

“Maksudnya?”

“Biasanya ada edaname[1]?”

“Oh ya, sebentar ya.”

“Makasiih.”

Atma hanya geleng-geleng.

“Kenapa sih?”tanya Rara.

“Enggak, dirimu tuh sampe hal-hal kecil gitu diprotes.”

“Bukan protes, cuma ngingetin kok. Lagian edaname emang enak kan? Dirimu juga doyan gitu.”

“Iyo-iyo wis, pe’en dewe.”

Diam sesaat (setan lewat).

“Oh ya, dikau tadi pengin ngomong apa?”Atma membuka pembicaraan sesi 2.

“Untung aku ngikuti saranmu untuk ikut seleksi bea siswa itu,meski waktu itu keinginanku masih fifty-fifty antara kerjaan atau belajar ke luar negeri,”terang Rara.

“Trus?”

“Iya, sekarang aku ambil bea siswa itu.”

“Kerjaanmu?”

(Terdiam sebentar, mata Rara berkaca-kaca)”Udah berakhir mas.”

“Haah…maksudnya?”Atma gak ngerti.

“Reformasi sampe mati, gak ada hasil.”

“Gagal sama dokter, kmu masih di Persada kan?”

“Gak ngerjain news, mo ngapain?”

“Pekerjaan yang lain masih jalan seperti biasa kan?”Atma coba mengurai persoalan.

“Males ah…”

“Lho kok?”

Makanan pesanan mereka dah datang, tapi pelayan terpaksa sedikit dicuekin karena mereka masih terlibat pembicaraan serius. Sambil membakari daging dan merebus sayuran, obrolan terus berlanjut.

“Kalo ngga pake news apa bedanya dengan PH? Ruhnya kantor berita kan news. Tanpa news, brenti aja jadi kantor berita.”

“Sia-sia donk perjuanganmu kalo nyerah gini?”

“Bukan nyerah mas, coolingdown aja.”

“Ini Ra, jamurnya,”Atma suapin Rara jamur enoki kesukaannya.

“Cooling down nya dengan pergi gitu.”

“Perginya kan juga belajar, bukan ngluyur.”

“Emang mau ambil apa?”

“Master hukum.”

“Gak nyambung.”

“Abis, terlanjur S I nya hukum. Katanya kalo sekolah di luar, ambil program yang gak sesuai dengan backgroundnya, bakal setengah mati ngejarnya.”

“Tapi buat apa, master hukum nya nanti?”

“Ya buat ilmu aja.”

“Sekolah kok buat pelarian, buat iseng-iseng doank.”

“Gak ada kata cukup untuk menuntut ilmu.”

“Aku cuman khawatir, ntar aktualisasi dirimu akan hilang.”

“Di sana aku juga ngga bakal kuliah doank lah, aku cari tivi setempat.”

“Ya udah, aku percaya:Kamu adalah benih yang tumbuh dimanapun jatuh.”

Jadi pengin tersipu,”Rara membatin.

Hatinya berbunga-bunga setiap kali Atma memuji dengan kata-kata itu, tapi sekaligus terbeban karena ngrasa belum menjadi seperti itu. Dan Rara begitu terobsesi mewujudkan pujian itu.

***

Parkiran Artha Gading Mall, P5 Bear Level, 21.17WIB

“Bener tadi parkir di sini?”

“Iya.”

“Tapi di sebelah mana ya?”

“Kebiasaan kamu mas.”

Kalo udah gitu, biasanya Atma memencet kunci alarm nya ke berbagai arah untuk mencari keberadaan mobilnya.

Belum tertata pantatnya di tempat duduk, Rara sudah langsung menyalakan radio. Atma pun tak pernah merubah frequensi radio di mobilnya. Hanya dua stasiun radio kesayangan Rara. I Radio untuk pagi hari dan selebihnya 98,7 Gen FM.

Kau takkan bisa jadikan diriku,

seperti yang kau mau,

karma ku bukan milikmu

(lagu Agnes Monica itu adalah ringtone hp Rara)

Nyebelin, China

calling…

“Udah, angkat aja.”

Rara masih ragu, dan mengarahkan pandangan ke Atma tanda memastikan persetujuannya untuk menjawab panggilan dari Tedy.

“Angkat aja,”Atma mengulang.

“Hallo….”

“Ra…where are you now?”suara Tedy menyapa.

“Just go out from Artha Gading,” jawab Rara singkat dan agak kikuk.

Biarpun sambil nyetir, telinga Atma tak pernah lengah setiap kali Tedy menelpon Rara. Kalo terdengar suara Rara nggak lepas gitu, Tedy udah ngrasa…

“With mas Atma?”

“Hem….”

“Do I disturb you?”

“No, never mind.”

“Just make sure. Should you study to Hawaii?”

“Of course, I am sure.”

“How about Vic?”

“I have entrusted to her grandmother in hometown.”

“You are really love her, aren’t you?”

“She is my everything and my goal so I have to prepare her future.”

“I just support if it’s your right choice. When you will leave for Hawaii?”

“Next week.”

“I’ll go to Jakarta soon.”

“Thanks.”

“Take care, go home and take rest soon!”

“All right, bawel.”

“Husss…promise to me first!”

“Ok, sir. I promise, we are on the way go home right now.”

“May I speak to mas Atma?”

Rara menyerahkan telpon genggamnya ke Atma.

“Mas, apa kabar?”

“Baik, pak.”

“Ini menuju rumah Rara kan mas?”

“Iya kok pak, kelihatannya Rara juga kecapekan, stress kali karena kondisi kantornya.”

“Iyalah, mas Atma yang paling bisa menghibur dia.”

“Sekali lagi, makasih lho mas, sudah menjaga Rara.”

“Iya pak, sama-sama. Ini saya kembalikan ke Rara ya pak?”

“Ra…keep your health, please!”

“Iye.”

“Good night.”

“Bye.”

Ketegangan pasti terjadi pasca munculnya Tedy, meski kehadirannya cuma by phone.

“Kenapa ya, Tedy tuh selalu bilang terima kasih ke aku. Kesannya aku tuh jadi orang luar, tau?”Atma protes.

“Maksudnya ngga gitu lah mas.”

“Ngga gitu gmana?”

“Ya udah lah mas, aku lagi ngga pengin brantem. Ntar lagi aku juga pergi.”

Kalo ngga ingat, Rara bentar lagi pergi jauh, Atma masih pengin ngumbar kekesalannya.

*

Pagi itu Rara bergegas bangun dan langsung berhambur ke kamar mandi. Untung semalam sudah packing semua perlengkapan yang hendak di bawa berangkat ke Hawaii. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia terduduk sejenak memandangi dua kopor yang akan dibawanya. Ia berpikir, adakah yang tertinggal? Rara tidak sekedar packing barang keperluan pribadinya, tapi ia juga mengemasi seluruh duka dan luka serta segala kegetirannya. Untuk selanjutnya ingin ia buang dalam penerbangan nanti.

“Kota besar ini terlalu banyak menorehkan luka padanya,”pikir Rara.

“Aku harus pergi….aku harus pergi….!!!”teriak Rara dalam hati.

*

@Bandara Soetta, 8 Mei 2008 pagi hari.

Sehabis check in Rara tak masuk ruang tunggu melainkan keluar untuk menemui kembali para pengantarnya.

“Ra…,something for you,” Tedy menyerahkan bungkusan besar dibaluti kertas kado.

“What is this?”

“Several pieces of warm clothes, cosmetics from your skin doctor and your others necessity.”

“Cosmetics from Doctor Nizar?”

“Yes right. He asked me to brought cosmetics and many various medicine for your stock over there. Please you save it in refrigerator.”

“Thanks a lot ya Ted, even I didn’t think about it.”

“Ok. You’re welcome.”

“But…,where is Doctor Nizar?”

“He worries will come late to here. He is flying from Makassar.”

Beberapa saat sebelumnya, Atma memberi kenangan sebuah lukisan wajah Rara dengan pose yang paling jenaka dan buku agenda dengan sampul lukisan close up wajah Rara juga. Kesemuanya goresan kuas Atma sendiri. Rara jadi kerepotan membawa bekal karena kenang-kenangan dari banyak teman yang ditinggalkannya. Ruang tunggu itu jadi dipenuh sesaki oleh Rara dan para pengantarnya. Semua teman kantor dan bosnya juga datang melepas kepergian Rara. Pun teman-teman dekat Rara: ada Priko, Ozi, Oliv dan Edo.

“Nduukk…,”teriak dokter yang terengah-engah datang.

“Dok…,” Rara berhambur memeluk dokter.

“Nanti kembali dari kuliah langsung ke kantor ya,”pesan dokter.

“Berangkat aja belum, dok?”

“Ya, pesen aja. Kepulanganmu sangat saya tunggu. Ngga rame, kalo ngga ada kamu.”

“Iya Ra…,” teman-temannya mengiyakan.

“Saya akan terus jaga mimpi kita, ok nduk?” dokter memegangi pundak Rara.

“Saya percaya dok, kalo ada Kantor Berita Anda, saya pasti pulang?”

“Ra…kamu siap-siap,”Atma mengingatkan karena sebentar lagi Rara harus boarding.

Sontak semua teman-teman Rara berhamburan merengkuh tubuh mungil Rara. Hujan tangis haru pun tak dapat dielak. Tinggal Atma dan Tedy saling berpandangan.

“Pink…?” Tedy mendekap Rara tapi gak mampu berkata-kata lagi.

“Ted, I do not know, how to say thanks to you. Thanks a lot for everything.”

Atma yang memperoleh kesempatan berikutnya.

“Say…,selamat belajar. Kamu pulang harus menjadi Rara yang kuimpikan.”

“Pasti, mas. Makasih atas semuanya. Kamu adalah energi dan inspirasiku.”

Berdua saling menatap dalam posisi wajah yang nyaris tanpa jarak. Atma menciumi pipi Rara kiri kanan dan manakala dua bibir berhadapan, hampir saja mereka saling menautkannya. Air mata yang sedari tadi Rara bendung, runtuh seketika.

“Ra…udah dipanggil tuh,”teriak Ozi membuyarkan semua adegan itu.

Sayang…teman-teman dekat Rara yang lain udah tidak sempat mengucapkan apa-apa lagi karena Rara keburu berlari menuju pesawat.

“Da…Rara,”semua melambaikan tangan ke Rara.

Begitupun Rara, dengan air mata yang masih berkeliaran di pipinya.

***


[1] Kedelai Jepang yang disediakan secara free sebagai makanan pembuka. Direbus dan disajikan dalam keadaan dingin dari lemari es.

===========================================================================

Reformasi Sampe Mati…

Maret 22, 2010 at 5:02 am

Kegaduhan di lobi lantai 19 Wisma Persada tlah bermula kala fajar menyingsing dari ufuk timur. Sebagian kru Persada TV tengah syuting profil kantornya sendiri. Di tengah lobi terpampang logo perusahaan ukuran raksasa

PERSADA

Kantor Berita Indonesia

Mengambil latar belakang logo itu, Direktur Utama Persada Afni Maula hendak memberikan statement. Demi menyenangkan orang nomor satu di gedung itu, segala peralatan canggih dikeluarkan dari sarang (baca: gudang) layaknya syuting sinetron. Arsyad, kepala bagian teknik suka gak enak kalo bos yang request. Maka sync Dirut diambil dengan multi camera plus lighting komplit.

“Ambil kabel roll dua,” Arsyad meminta Andre.

“Filternya sini,” Alul meraih dari tangan Livia.

“Pake deodo*?” Awan menanyakan ke Alul.

“Pake aja…”

Andre menghidupkan VTR dan menyambungkan kabel besarnya ke kamera master. Arsyad dengan dibantu Rimbun memasang rel track. Alul lagi mencari angle yang bagus untuk posisi Dirut berbicara depan kamera.

“Shell…lu jadi model sini,” Wendra menarik lengan Sheila dan memposisikannya di depan kamera master.

“Ih…apan sih, kan tinggi gw beda ma bos,” elak Sheila.

“Ngga ah…palingan juga segitu,” Wendra beralasan.

“Oh ya Liv, tolong make up in si bos donk.”

“Hah…mas Wendra ada-ada aja, gak berani ah.”

“Udah sana…bos dah jinak kok,” Alul memberi dorongan ke Livia.

“Ngga…ngga…,” Livia panik seraya menggeleng-nggeleng disertai isyarat tangan melambai-lambai.

“Shell…kmu ya.”

Oh…no, no,no…thank you.”

“Sarah aja tuh…,” usul Awan.

“Ntar bos dibikin menor donk, huaha haha…” Andre ngledek.

“Wuadoooh…masa’ gak ada yang berani make up-in bos?” Wendra mengeluh.

“Minta Rara aja tuh…,” kata Arsyad.

“Mau pa ngga dia ya?”

“Nah…kalo Rara urusannya mau pa ngga, kalo yang lain karena gak berani.”

“Justru urusan mau gak mau itu lebih repot.”

“Udah coba aja, Rara kalo dimintain tolong baik-baik pasti mau,” Alul memastikan.

“Oke deh…”

Wendra bergegas menuju ruang redaksi dimana Rara sedang mengendalikan para kru di lapangan via chatting

Friends On Line

  • Leo
  • Rino Mastama
  • Edo Luciand
  • Ratri Purnama
  • Riri Ariza
  • Enok Kurniasih
  • Elman Kreenz
  • Ozi Bahanan
  • Dianna Marlyn
  • Ferry Tommy
  • Rena Spektakuler
  • Priko Indigo
  • Atma Priangkasa
  • Heru Marwata
  • Mahyudin Damis
  • Osvaldo Umboh
  • Stephen Orlando
  • Natal Argawan
  • Vic Nadya
  • Sahrudi Rais
  • Sailal Arimi
  • Ninok Hariyani
  • Julian Aldrin Pasha
  • Yopie Hidayat
  • Miqdad Husein

Elman: Anggodo msh di dlm mbak, bakal lama kayaknya

Rara : Tanya johan budi, masih lama ngga pemeriksaan, keburu deadline, bilang…

Elman: gak diangkat mbak telpnya

Rara : susul aja ke atas

Elman: trus…?

Rara : gebrak meja penyidik!

Elman : ha….h?

Rara : tanya, brp lama lagi pemeriksaan

Elman : serius?

Rara : bilang, kami dah lelah menanti hentikan pemeriksaan atau tdk akan sy liput lagi

Elman : busyet…

Rara : brani ngga?

Elman : engga mbak…

Rara : ya udah tunggu aja! Kalo anggodo keluar getok kepalanya, nyusahin wartawan aja, ha ha…

Elman: ckckck…

Rara : ya udah, slamat berjuang bro…tongkrongi kpk ampe lumutan…hua ha ha

Elman : baik mbak…

Rara : pantang pulang sblm dpet berita…!

Elman : ok sis, demi tugas Negara…

Rara : ok good, lanjutkan!

Elman Leo Priko Atma Ozi

“Mbak Rara…sori ganggu…,” Wendra menyapa dari balik kursi.

“Hem…, knapa?”

“Tolongin kita donk.”

“Kan aku dah bilang, gak mau ikut-ikutan bikin profil.”

“Bukan mbak, tolong bantuin make up-in bos aja, pliiiisss. Gak ada yang berani make up-in beliau.”

“Knapa mesti gw yah…gw bukan make up artis.”

“Skali ini aja mbak, pliiiss.”

“Plas- pliiis, plas-pliiis…lu pikir gw bisa lemah gitu.”

“He he…skali aja,” Wendra sembari mengacungkan telunjuknya.

“Ngga mungkin skali, ntar pada keterusan. Tuh pak Rangga mau foto wisuda minta di make up gw juga.”

“Ya berarti pasiennya pada cocok mbak.”

“Hah…kmu tuh…,” Rara beranjak.

“Waduh…thanks mbak,” Wendra girang lalu menguntit Rara menuju ruang rias.

Rara mengaduk-aduk cosmetic box, mengambil pembersih, pelembab, alas bedak, bedak padat dan tabur, lipbalm serta kapas.

“Segitu aja,” tanya Wendra.

“Ya iya…emang laki-laki mau di eyeshadow?”

“Yuuuk….”

Berdua jalan beriringan menuju ruang kerja Dirut.

“Ra…,” sapa Ita sang sekretaris.

“Ya mbak, mau poles-poles bapak,” Rara sambil tangannya memperagakan memoles muka.

“Di make up juga ya.”

“Iya donk, biar cakep di kamera.”

“Bapak kan emang cakep.”

Ita membukakan pintu ruangan bosnya, melaporkan kehadiran Rara dan Wendra lalu mempersilakan mereka masuk.

“Hei…apa kabar Ra…,” Afni menyalami Rara.

“Apa kabar mlulu pak, kayak lama gak ketemu aja.”

“He he…”

“Gmana, gmana…saya mau diapain?”

“Dipoles dikit ya pak.”

“Kalo Rara yang paksa mana bisa saya menolak, ha ha.”

“Ya udah, aku tinggal ya,” Wendra membisiki Rara.

“Ya…”

“Pak…saya tinggal ya.”

“Lho kmana Wen?”

“Liat persiapan di depan pak.”

“Oh…saya deg-degan nih kalo ditinggal berdua gini.”

“Tenang aja pak, Rara ngga nggigit kok.”

“Iya…saya nya yang takut tergoda, he he.”

Wendra senyum nyengir dan berlalu meninggalkan mereka berdua.

Afni memperbaiki posisi duduknya.

“Duh…mau diapain nih?”

“Bersihin dulu mukanya ya pak.”

“Emang muka saya kotor ya?”

“Ya enggak. Pak bagi tissue nya ya.”

Rara menyabut satu dua lembar tissue dari meja Afni. Diusap-usapnya wajah Afni yang sedikit berminyak.

“Maaf ya pak,” Rara permisi.

“Gak pa-pa, silakan.”

Afni menyandarkan kepalanya di kursi, pasrah diobok-obok tangan mungil Rara.

“Kamu bisa ya make up?”

“Kok gak percaya sih?”

“Lha kamu gak pernah dandan gitu?”

“Ini salah satu ilmu yang saya pelajari setelah di tivi pak.”

“Sebelumnya kmu dmana?”
“Di radio pak.”
“Radio…?”
“Pantesan cerewet kmu ya.”

“Heh…”

“Seneng di tivi?”

“Gak seberapa?”

“Lho…kok?”

“Tivi itu lebih banyak unsur entertainment nya.”

“Oh…iya,” Afni membenarkan.

“Contohnya ini. Bapak mau kasih statement 30 detik aja, make up nya 15 menit, setting peralatan, kamera, lampu bisa setengah jam-an lebih.”

“Kecuali kalo mau garap news total, kita semua semangat pak.”

Rara mulai melancarkan diplomasi informalnya ke pucuk pimpinan kantor berita itu.

“Apa idemu?”

“Waduh pak, kalo ide dah mengepul di kepala gak pernah terealisasi jadi frustasi.”

“Lho…dituang dalam konsep donk…trus dirapatin.”

“Ya sudah semuanya pak, sudah dibawa ke sarasehan malah.”

Sejurus kemudian sambil memoleskan bedak padat ke wajah Afni, Rara nyerocos menceritakan perjuangannya selama beberapa bulan terakhir untuk mereformasi unit tivi agar memenuhi kodratnya sebagai kantor berita tivi. Rara bahkan menggandeng pihak swasta yang bersedia melakukan pembiayaan untuk produksi berita berkecepatan tinggi. Lalu dikonsumsi tv-tv lokal di seantero nusantara pun barter berita dengan kantor-kantor berita berbagai Negara.

Adalah dokter Nizar, seorang doctor di bidang kedokteran tapi punya hobi di dunia televisi. Di sela-sela kesibukannya menjadi dosen, memimpin perusahaan kosmetik dan sebuah klinik spesialis kulit, ia sering mondar-mandir ke Persada TV untuk bermitra memproduksi berbagai program tivi. Karena alasan kepentingan produksi dokter Nizar intens berkomunikasi dengan Rara hingga suatu ketika keduanya “berjodoh”. Dokter Nizar punya atensi yang besar bagi perkembangan sebuah kantor berita tivi. Sedangkan Rara adalah awak Persada TV yang telah sekian lama membangun dan memelihara mimpinya tentang sebuah kantor berita tivi. Maka sepakatlah berdua untuk mewujudkan mimpi bersama. Segudang konsep tlah dibuat dan dibedah dalam dua kali sarasehan. Tapi dokter kecewa karena merasa semangatnya tak imbangi oleh direktur tivi Brahmana.

“Ra…”

“Ya pak…”

“Kenalkan saya sama dokter itu donk,” pinta bos muda itu.

“Boleh pak, segera saya hubungi.”

“Tapi ntar ya, sepulang saya dari umroh aja.”

“Kapan pak?”

“Lusa saya berangkat, kira-kira dua minggu di tanah suci.”

“Ok, saya jadwalkan setelah itu. Bapak kabari ya kalo dah kembali.”

“Oke-oke. Kamu seneng banget Ra?”

“Karena darah kami tuh darah jurnalis,” Rara membisiki bosnya dengan penuh penegasan.

Rara sengaja sedikit memperlama mendadani Afni hingga penyampaian misinya selesai.

“Pak…bibirnya dibasahi ya.”

“Eh jangan dikasih lipstick.”

“Bukan pak, ini lipbalm doang. Sewarna dengan bibir kok.”

Rara hendak menyapukan lipbalm, tapi bibir Afni masih kering.

“Pak, bibirnya dibasahi,” Rara menyontohi dengan mengulum bibirnya.

Afni menirukan dengan bibir bergetaran. Rara tersentak dan segera menyadari bahwa dirinya terlalu dekat saat memberi contoh bagaimana membasahi bibir. Bahkan kedua bibir mereka mungkin hanya berjarak sejengkal tangan. Rara pura-pura tidak memperhatikan bosnya grogi. Ia mengusap bibir Afni dengan selembar tissue dan lantas memoleskan lipbalm di atas bibir yang bergetaran itu.

*

@RM Sedap Malam Kebon Sirih. Medio Desember, Waktu Lunch DKI Jakarta

“Nizar….”

“Afni…”

Keduanya berjabat erat mengawali silaturahmi perdana antara bos Persada dengan Cantik Cosmetic.

“Ra…thanks ya kmu dah mempertemukan saya dengan orang sehebat dokter.”

“Ya…ya…”

“Tapi anda lebih beruntung.”

“Me…?” Afni menepuk pelan dadanya.

“Anda punya Rara…,” Dokter Nizar merangkul pundak Rara.

“Ha ha…ha ha…,” bertiga melepas tawa keakraban.

“Ayo…ayo…silakan,” Dokter mempersilakan tamunya duduk.

Bertiga serempak duduk mengitari meja bundar bernomor 13 di pojok ruangan rumah makan bergaya Jawa kuno itu. Pengunjung siang itu sebenarnya rame juga tapi Rara telah memesan meja yang berposisi strategis sehingga tidak terganggu lalu-lalang para tamu lain. Dokter memberi kode pada seorang waitress untuk mendekat. Dokter menanyai Afni dan Rara tentang makanan yang ingin mereka pesan. Rara pesan nasi goreng sedangkan Afni meminta nasi sayur lodeh dan lauk ayam goreng. Dokter meminta nasi sayur bening plus empal dan cemilan onde-onde. Untuk minuman, ketiganya sepakat untuk order jus jambu.

Begitu pelayan permisi berlalu, ketiganya bergegas memulai pembicaraan penting. Dokter membuka notebooknya serta menghadapkan layarnya ke arah Afni dan Rara. Dibeberkanlah berbagai rencana besar yang tertuang dalam sebuah blueprint Kantor Berita TV Persada Go Global.

“Ini Rara yang bikin lho pak…,” Dokter Nizar tak henti-hentinya memamerkan diri Rara ke bosnya.

“Iya…Rara juga sempat cerita tentang mimpi-mimpi ya.”

“Permisi…,” pelayan berpakaian tradisional Jawa menghampiri.

“Oh ya…ya silakan,” Dokter sedikit menggeser laptopnya karena makanan pesanannya datang.

Ia menyodorkan satu demi satu piring untu Afni dan juga Rara. Doktor jebolan Hawaii University ini memang sangat care. Buat dia, orang lain selalu lebih penting dari dirinya sendiri. Selalu bersikap melayani dengan siapapun itu, apalagi terhadap Rara yang sangat ia banggakan. Tiga bulan bergaul intensif dengan Rara, membuat hubungan mereka layaknya anak dan bapak. Keduanya merasa sangat beruntung. Rara beruntung menemukan orang tua yang masih beranimo tinggi membantu mewujudkan mimpinya. Sementara dokter merasa beruntung bertemu anak muda yang senantiasa berada pada semangat prima.

“Pak…kita akan sangat berdosa kalo tidak mensupport cita-cita mulia Rara,” Dokter menyambung pembicaraan.

“Iya…saya juga berpikir begitu. Itulah kenapa saya minta dipertemukan dengan dokter.”

“Dokter akan mengambil beberapa peran: pembiayaan, marketing dan distribusi. Ya kan dok?” Rara mempertegas keinginan dokter untuk bermitra.

“Wah…bagus itu,” Afni menyambut gembira.

“Selama ini kita tidak leluasa bergerak karena pembiayaan dari dana PSO.”

“Bener kmu Ra.”

“Nah sekarang ada dokter yang punya kekuatan financial dan juga jaringan yang luas. Sementara bapak punya kuasa di sebuah lembaga kantor berita nasional. Kalo keduanya dikawinkan…,waowww…akan bisa membangun sebuah kantor berita tivi. The real tv news agency…,” teriak Rara tanpa kendali.

Afni dan Dokter Nizar geleng-geleng menyaksikan semangat Rara yang gegap gempita.

“Jadi gmana pak, apa tega liat anak ini kecewa?” Dokter meminta pertimbangan.

“Deal…kita tidak akan biarkan dia mimpi sendirian dok. Akan sangat berdosa,” Afni beranjak menyalami Dokter.

Kesemuanya lalu bertepuk tangan menyambut kesepakatan yang baru saja dibuat.

“Oh ya Ra…saya pengin tanya, gmana dengan pak Brahma.”

“Hemmm…gmana ya pak.”

“Saya tahu kmu tidak mau menjelekkan orang lain tapi saya butuh masukan Ra,” Afni meminta.

“Ya…kalo mimpin tivi tiga tahun gak kelihatan hasilnya, pasti there is something wrong.”

“What is that?”

“He is expert in television broadcasting but didn’t have struggle. Just N A T O, ha ha.”

“Oh…I know.”

“Kembali ke topik kita gmana?” dokter mengingatkan pembicaraan yang terinterupsi.

“Gini dok…saya akan bawa ini ke rapat BOD.”

“Jangan bikin semangat saya mengempis lagi ya pak, pliiiss,” Rara memohon.

“Engga, saya akan perjuangankan. Saya punya kuasa tapi kan harus saya putuskan bersama.”

“Ntar mentah lagi,” Rara khawatir.

“Engga…,” Afni mengucek-ucek kepala Rara.

“Mudah-mudahan…,” Dokter penuh harap.

Rara sebenarnya was-was ketika idenya akan dibawa ke rapat direksi sebab selama ini dua dari lima direktur berpikir konservatif dan menutup diri bagi masuknya mitra swasta. Tapi karena sang Dirut berjanji memperjuangkan cita-citanya, Rara segera mengevakuasi kecemasan dari dalam benaknya.

*

Hari yang mendebarkan itu tiba. Setelah dibahas internal secara marathon tentang rencana masuknya pihak swasta ke Persada TV, pagi ini Dokter Nizar dipanggil untuk presentasi depan direksi.

“Dok…selamat berjuang ya…,” Rara memegang erat kedua tangan dokter memberi asupan semangat.

“Iya…kamu tau…?”

“Ya dok…?”

“Saya lakukan ini demi kamu nduk…”

“Ah…dokter berlebihan…”

“Serius…”

“Dok…sudah ditunggu…,” ajudan dokter mengingatkan.

“Oh ya…ya…”

Dokter lekas memasuki ruangan setelah mengecup kening Rara terlebih dulu.

“Kamu kekuatanku nduk…,” dokter berbisik.

“Dokter pasti bisa…!” Rara menyemangati.

Diiringi ajjudan dan sekretaris, Dokter Nizar melenggang ke ruang rapat utama kantor berita Persada.

“Pagi…pagi…”

“Pagi dok…,” serentak seisi ruangan menyahut sapaan dokter.

Dalam ruangan itu telah duduk berderet memutar persegi panjang, segenap jajaran direksi lengkap dengan para GM. Tak ketinggalan Direktur TV Brahmana juga dihadirkan di situ. Afni merangkul dokter dan lalu membimbingnya untuk duduk bersebelahan dengannya. Afni membuka forum dan lalu mengenalkan siapa Dokter Nizar dan apa misi yang diusungnya. Setelahnya Afni menyilakan dokter untuk menggelar presentasinya.

Sekretaris dokter sigap menyiapkan perlengkapan presentasinya. Notebook dan juga in focus nya. Sekejap dokter sudah memulai paparannya. Berbekal konsep yang brilian plus gaya orator yang memukau, audiens dibuat terpaku menyimaknya. Gemuruh tepuk-tangan tak dapat dicegah. Brahma serasa tertampar mukanya karena analisa bisnis dokter begitu menggiurkan. Ia bahkan sanggup menyumbangkan separoh profitnya dengan nominal yang cukup fantastic ke kas lembaga.

“Anda semua tau, ini konsep dari siapa?”

Sebelum peserta rapat menjawab…

“Pemikiran ini datang dari dalem sini, dari dalam tivi bahkan yang selama ini anda anggap anak kecil.”

Semua saling berpandangan.

“Konsep ini Rara yang punya, saya hanya memoles dari segi strategi bisnisnya,” terang dokter.

Brahma kian merunduk

“Persada ini memiliki SDM yang begitu istimewa tapi membiarkannya merana.”

Dalam pada itu, di luar ruang meeting Rara mondar-mandir menyemaskan dokter yang tengah berjuang di dalam. Sesekali ia sedikit tempelkan telinga ke dinding berharap suara-suara dari dalam dapat menyeruak keluar. Ia sungguh penasaran, berhasilkan dokter meyakinkan para bosnya.

*

“Maafin saya ya dok…Rara sudah menjerumuskan dokter.”

“Engga nduk, kmu ngga salah.”

“Saya merasa bersalah banget membawa masuk dokter ke kantor yang gak ramah perubahan.”

“No problem, sekarang kita persiapkan plan B.”

“Serius dok?”

“Kmu gak percaya sama kemampuan saya?”

“Bukan begitu…tapi…”

“Ya udah, ikut saya aja. Kita bangun kantor berita multimedia nasional swasta pertama di Indonesia.”

Rara tertegun melihat semangat orang yang duduk di hadapannya ini. Berdua terlibat perdebatan serius di sebuah restoran pizza di Kalibata Plaza, pada suatu sore. Pertemuan ini dalam rangka evaluasi setelah Dokter Nizar bolak-balik tiga kali presentasi di depan direksi Persada. Disambut hangat sih…tapi idenya belum bisa diterima dengan berbagai alasan teknis birokrasi.

“Bos-bos kamu itu gak ada yang punya mimpi, apa yang kmu masih tunggu di sana.”

“…………………..” Rara terdiam berpikir.

“Kmu anak pinter, sayang kalo dikerdilkan oleh bos-bos yang tidak berani membuat lompatan besar.”

Dokter masih nyerocos emosi.

“Saya musti resign dok?”

“Lho saya akan bangun ini buat kmu nduk…”

“Ok, saya akan ambil tantangan ini.”

*

@Hang Gang Restaurant , West Hall Grand Indonesia. Dinner Time

“Maaf pak, saya tidak bisa menunggu lama.”

“Maksud dokter?”

“Saya akan bangun sendiri sebuah kantor berita multimedia.”

“Are you sure?” Afni terkaget.

“Of course, I’ve plan B when you aren’t able to realize Rara’s dreams.”

“So…?”

“I would like to take out Rara from Persada.”

“Really…?”

“Ok…ok…we have to cooling down first,” ajak dokter.

Meredam ketegangan antara kedua bos ini, dokter mengajak Afni menyantap makanan terlebih dulu sebelum membahas topik ke jenjang yang lebih serius. Telah terhidang di depan keduanya, 2 porsi dolsot bimbim bab, 2 beef bulgogi, 1 kim chi, 1 chicken tangsuyuk serta 2 minuman teh Korea shikhye.

“Dok…serius mau ambil Rara?” Afni gak sabar menunda pembicaraan lebih lama.

“ Saya gak pernah main-main, bapak tau itu kan?”

Dokter meyakinkan Afni sembari menjepit beberapa lembar sayuran kim chi. Tapi Afni tak seberapa bernafsu melahap nasi campur korea yang dihidangkan dalam mangkuk batu di hadapannya.

“Knapa musti ambil Rara?”

“Lho yang akan saya bangun ini kan impian dia, biar Rara sendiri yang mengawalnya.”

“ Tapi knapa secepat ini dok, apa dokter tidak terlalu buru-buru?”

“Memang ada yang masih bisa saya tunggu di Persada?”

“Saya mungkin butuh waktu sedikit lagi untuk meyakinkan teman-teman direksi.”

“………….” dokter menggeleng-gelengkan kepala pelan.

“By the way, sudah sejauh mana persiapan dokter?”

“Gedung untuk kantor sudah ada di Kalibata, equipment pesan ke Singapura sudah kasi DP 50%, SDM sedang reqruitment Rara yang menyeleksi.”

“Sudah sejauh itu ya?” Afni kontan kehilangan selera makannya.

“Meskipun dah tua tapi saya malu kalo semangatnya kalah sama Rara,” dokter menyindir Afni.

“Ya…ya…”

“Jadi deal ya, Rara biar sama saya aja?”

“Jangan donk dok…!”

*

Direktur TV Brahmana akhirnya diberhentikan kemudian dialihkan menjadi staf ahli direksi. Di Persada, sebenarnya jabatan staf ahli hanya untuk menampung orang-orang yang tidak efektif lagi menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Sambil menunggu masa pensiun biasanya orang seperti ini di”staf ahli”kan. Kini kendali Persada TV sementara dipegang oleh Dewo Prayogi yang adalah teman karib sang Dirut. Di ruangan bekas ruang kerja Brahmana, Ewok tengah membujuk Rara agak tidak gegabah mengambil keputusan untuk resign. Ia memberi pandangan ke Rara bahwa tidak mudah membangun sebuah kantor berita swasta. Meskipun punya kekuatan financial sekalipun, tapi banyak factor yang harus dihitung untuk menjaga eksistensinya kelak.

“Itu tidak mudah lho Ra.”

“Ya aku tau gak mudah mas. Tapi kalo kita hanya mampu melakukan hal seperti yang orang perkirakan, ya…itu bukan sesuatu yang luar biasa.”

“Ya deh…aku paham semangatmu, tapi pikirkan dulu masak-masak ya.”

“Ya mas…”

“Kamu jangan resign dulu.”

“Lah…ntar kasihan dokter mas. Aku yang mendorong dokter hingga beliau melangkah sejauh ini. Masa’ mau saya tinggalin sendiri?”

“Kalo gitu, kmu gak pa-pa deh sambil bantuin dokter. Kmu bantu beliau sampe segala sesuatunya running well baru kmu boleh membuat keputusan. Ok non?”

“Yah…ya…makasih banyak ya mas.”

*

Tiga bulan berlangsung, Rara dan Dokter Nizar super sibuk menyiapkan kantor baru. Mendesign news room, hall untuk studio talkshow dan ruang kerja. Berdua juga menyeleksi para calon kru dan karyawan serta mengundang para ahli IT untuk menginstall segala perangkat sebuah kerajaan berita. Kantor Berita Anda _begitu mereka menamai_ juga telah melakukan simulasi pengiriman berita cepat melalui satellite. Sayang, kerja keras itu harus terhenti karena terpentok izin.

***

Goodbye Dokter…

Maret 18, 2010 at 6:52 am

Calling….

“Assalamu’alaikum…”

Hallo…are you Rara?”

“Yes, I’m. Who is speaking?”

“I’m Archard, Nouval’s friend.”

“Ok, what happen?”

“Sorry miss…?” (Archard terhenti, tidak melanjutkan kalimatnya).

“Archard? There is something happen?”

“Nouval…” (terhenti lagi).

“Why about Nouval?”

“Nouval got accident by small engine plane.”

“Accident? Nouval…,really?”

“He pass away.”

“………….”

“Raraaa…, Raraaa…, are you oke?

Rara yang sesaat tadi terperanjat berdiri, kini jatuh terduduk di kursinya kembali. Telepon genggam yang semula menempel di telinga, merosot berangsur jatuh ke lantai. Begitu pula microphone yang tergenggam di tangan kirinya bernasib serupa. Tubuh Rara serasa lunglai seketika. Airmatanya tumpah menyiram kedua belah pipinya. Panggilan internasional Archard tak terhiraukan lagi.

Padahal, Rara saat ini lagi bersiap untuk siaran langsung dari bundaran Indosat karena tengah terjadi demo kolosal oleh puluhan ribu buruh.

Seakan terhuyung ia menyeret badannya ke lorong menuju ruang dubbing 3 yang sedang kosong. Setelah merapatkan pintu, tangis Rara sontak pecah. Rara mengekspresikan segenap dukanya dalam raungan tangis yang membahana di ruang kedap suara itu. Ia sandarkan tubuh yang serasa tak bertulang di pojok ruangan. Bergumpal-gumpal tissue telah kuyup, tapi air mata tak jua mampat dari bola mata bulat Rara.

Dokter, maafin aku…maafin aku,” gumamnya.

Betapa hati Rara dikerubuti rasa sedih dan perasaan bersalah sekaligus. Semasa hidup, setidaknya dalam kurun 4 tahun terakhir, dokter Nouval menumpahkan segala perhatian, kasih sayang dan cintanya untuk Rara. Tapi Rara nyaris tak pernah menggubris dan mempertimbangkan kegigihan Nouval. Bukannya Nouval tak menarik, justru cowok berdarah Jerman-Jogya itu teramat sempurna. Tampangnya yang mirip actor ganteng Ari Wibowo_hanya rambut Nouval ikal dan pirang_, dengan kulit putih kemerahan. Tak hanya keistimewaan rupa, Nouval juga memiliki kemewahan akhlak selain juga berlimpah materi.

Kesempurnaan itulah yang membuat Rara ngeri dan merasa tak pantas dicintai pria sekaliber Nouval. Alasan itu pula yang membuat Rara terus berusaha menjauh bahkan dengan cara yang mungkin menyakiti Nouval. Tapi niat Nouval untuk menjadikan Rara sebagai pendamping hidupnya, tak pernah padam. Hal itu dibuktikannya dengan mengambil program spesialis syaraf pada perguruan tinggi terkemuka di salah satu negara bagian negeri Paman Sam. Tatkala studinya hampir rampung, Nouval memaksa Rara untuk mau dioperasi, agar sakit kepala yang sering mendadak menyerang beberapa tahun belakangan ini bisa sembuh permanen. Bersama seorang professor_dosen kesayangannya_ Nouval mempersiapkan segala sesuatu untuk persiapan operasi. Termasuk membeli berbagai peralatan medis ke beberapa kota. Nouval menyarter pesawat kecil untuk pergi belanja peralatan operasi, hingga kecelakaan maut itu terjadi.

*

Alul yang telah siap dengan kamera dan beberapa perlengkapan lainnya, telah beberapa waktu menunggui Rara keluar dari ruang dubbing 3. Ia mengira, Rara tengah mendubbing sebuah script. Tapi sepuluh menit telah berlalu yang ditunggu belum keluar juga, padahal suasana demo di luar sana sudah hiruk-pikuk. Alul mencoba menghampiri ruang dubbing 3, sedikit mendorong pintunya yang tidak terkunci. Dengan posisi pintu yang sedikit menganga, Alul mendapati tubuh Rara meringkuk lemas di pojok ruangan.

“Ra…kamu knapa?” tanya Alul keheranan.

Yang ditanya tak segera menyahut, kucuran air matanya pun masih berderai.

“Cerita donk…kamu ada apa?” bujuk Alul.

“Temenku meninggal,” Rara menjawab lirih dengan segenap energi yang tersisa.

“Siapa, kapan?”

“Dokter, barusan kecelakaan pesawat.”

Alul berpikir dan mengingat sejenak, serasa selintas teringat dokter yang dimaksud pastilah yang waktu itu pernah main ke kantor dan jadi bahan gunjingan sedap hampir seisi gedung karena dikira artis.

“Dokter? Kecelakaan pesawat?”Alul mengulang dan Rara mengangguk.

“Kamu tenangin diri aja kalo gitu, biar digantiin yang lain ya?”

“Jangan…jangan!”

“Ra…kamu jangan maksain diri deh.”

“Enggak…nggak, aku masih bisa kok.”

“Tapi nggak bisa juga, kamu on cam dengan wajah sembab gitu.”

“Bisa kok, aku cuci muka bentar ya,”Rara bangkit dan menghalau badan Alul yang menghalangi langkahnya ke arah pintu.

Alul menarik tangan Rara dan masih mencoba mencegahnya, tapi tidak berhasil. Rara berlalu dan pergi ke restroom. Wajah sembab itu ia usapi dengan facial wash, dibilas air lalu dikeringkan dengan sapu tangan handuk. Sejurus kemudian ia teteskan obat mata untuk menghilangkan mata merah dan menaburkan bedak tipis. Rara berlari kembali ke ruang redaksi, menyambar microphone dan mengajak Alul berangkat. Dua tim lain yaitu Santi dan Awan, serta Lia dengan Anda bertugas memback up liputan Rara dari berbagai titik. Rara tak menghiraukan rekan-rekan sekerjanya yang memandangi wajah yang belum sepenuhnya pulih dari bekas tangisan itu. Dengan berat hati Alul menuruti ajakan Rara meski dibarengi dengan rasa iba.

Setibanya di bundaran Indosat, puluhan ribu massa dari arah bundaran Hotel Indonesia sudah menjelang halte busway Bank Indonesia dan beberapa jengkal lagi menyentuh bundaran Indosat. Satu unit SNG telah siap di lokasi itu, satu lagi di bundaran HI dan satu lainnya di depan Istana Negara. Rara segera mengambil posisi dekat taman pembatas jalan untuk reportase. Dengan menaiki kursi kecil agar tampak lebih tinggi dan mendapatkan background massa yang lebih luas. Alul dan beberapa kru lain lebih sibuk lagi mengatur peralatan dan komposisi gambar yang harus segera diambil.

“Lul, segini?” Rara menanyakan apakah posisi yang dia ambil sudah tepat.

“Munduran dikit deh, biar dapet posisi MCUg,”pinta Alul.

“Ato pake tangga aja,”teriak Jay dari dekat mobil SNG di pinggir jalan.

“Ya udah, bawa sini deh,”sahut Alul.

Saat Jay hendak mengganti kursi Rara dengan tangga lipat, Rara tak menyadarinya. Matanya berkaca-kaca dan pikirannya melayang entah ke mana. Jay yang bingung menanyakan ke Alul. Alul mendekatinya.

“Ra…udah ya, kalo kamu masih sedih gak usah dipaksain,”bujuk Alul sembari memegangi pundak Rara. Rara terperanjat dan segera menarik secarik tissue dari kantong sakunya. Ia terus berusaha keras menyumbat air mata yang hendak jatuh dari kelopak matanya. Sesekali ia mengedip-kedipkan matanya untuk menahan linangan air mata. Ia menggumamkanbasmallah, dan segera menyigapkan diri.

“Siap Lul…,”teriak Rara seraya mengacungkan jempol.

Massa buruh dari berbagai perusahaan se Jabotabek, hampir merangsek ke arah bundaran Indosat. Semua kru buru-buru bersigap. Laporan Rara akan mengisi layar Telkomvision untuk program Berita Seketika.

“Rara stanby yaa…,”kata Alul. Tiga…dua…satu…action!

Pemirsa…,

untuk kesekian kalinya

buruh kembali turun ke jalan

Hari ini, tepat 1 Mei dimana Hari Buruh diperingati

Puluhan ribu buruh dari ibukota dan sekitarnya

hendak mengepung istana…

bla…bla…bla…

Rara berhasil menegarkan diri selama kurang lebih lima menit, untuk menyampaikan berita sekilas tentang aksi buruh yang hari itu melumpuhkan sebagian besar aktivitas di ibukota.

Sementara Lia menyampaikan laporan pandangan mata dari bundaran HI, dan Santi akan menyampaikan laporan serupa dari depan istana kelak jika rombongan massa telah sampai di sana. Meski tidak terjadi chaos, tapi arak-arakan buruh telah melumpuhkan lalu lintas di jalan-jalan protocol di Jakarta. Beberapa insiden terjadi di berbagai titik. Di depan markas besar PBB di Thamrin misalnya, terjadi pembakaran satu armada Trans Jakarta oleh massa tapi berhasil dipadamkan sebelum api membesar dan meledakkan bus itu. Di depan kantor wapres di Jalan Merdeka Selatan terjadi ketegangan antara demonstran dengan para polisi. Picu pasal, para pendemo berkeinginan menemui Wapres Jusuf Kalla tapi para petugas keamanan plus Paspamres yang menjaga gerbang istana menghalau. Dan satu dua keributan di tempat lain, yang kadang terjadi antar kelompok pengunjuk rasa dan seringkali dengan aparat keamanan. Namun kesemuanya bisa diredam sebelum sempat chaos.

Begitu mengakhiri laporannya, Rara berlari menuju mobil liputan yang diparkir di trotoar samping gedung BI dengan air mata kembali berderai. Memasuki mobil, tangisnya kembali lepas. Dani sang driver kebingunan menyaksikan pemandangan langka itu. Soalnya baru kali itu melihat Rara menangis bahkan menangis sejadi-jadinya.

Hik…hik…hik…

Huk…huk…huk…

Dani tak berani menanyai, ia mengerutkan dahi berikut kedua alisnya. Wajahnya terus dihinggapi keheranan tiada habis. Ingin sekali rasanya bisa menghibur Rara, tapi tak tahu apa yang hendak dilakukan. Ia hanya mengulurkan sebotol air mineral.

“Makasih…huk…huuuuuk…” sebotol air mineral dingin tak cukup menenangkan Rara dari rasa pilu yang menyerbu seluruh lorong kalbu. Arus massa terus berarak menuju istana, sesekali mereka yang berada dipinggir kiri jalan melongokkan mukanya ke mobil Persada TV. Sebelum sempat melihat tangisan Rara, Dani keburu membentaknya.

Hampir tiga puluh menit berlalu, belum ada tanda-tanda tangisan Rara mereda. Padahal sebentar lagi ia harus bersiap menyampaikan laporan up date situasi berikutnya di depan kantor RRI. Ingat akan tugasnya, Rara segera menyeka air mata dan “membenahi” mukanya untuk siap on screen lagi.

Hari itu sungguh menjadi hari yang mahaberat buat Rara. Ia harus reportase live beberapa kali ditengah duka yang merundungi hati.

***


g Medium Close Up, pengambilan gambar dengan ukuran sepinggang.

===========================================================================

Jurnalis Tak Ada Matinye…

Februari 26, 2010 at 7:43 am

Qodratnya peraturan, itu untuk diakali dan disiasati lalu dilanggar. Begitu prinsip orang hukum yang satu ini. Background hukum tak membuatnya jadi orang taat hukum atau peraturan, malah kian lihai berkelit dari jeratan peraturan yang melilitnya. Pun, darah jurnalis semakin memupuk kebengalannya dalam melawan beraneka peraturan. Sebab menurutnya, banyak peraturan yang tidak efektif berlaku sebagai akibat tidak membuminya ia. Belum lagi para petugas di lapangan yang senantiasa membabi-buta dalam melaksanakan, tanpa kearifan dalam menyerna dan menerjemahkannya.

Mula pertama, Rara meributkan peraturan kantor yang mewajibkannya absen tak terkecuali para jurnalis. Mobilitasnya yang tinggi terkadang menyulitkannya kalo harus absen sidik jari terlebih dulu di kantor. Padahal adakalanya syuting dilakukan pagi-pagi buta dengan lokasi di pinggiran kota. Lokasi syuting lebih mudah ditempuh langsung dari rumah daripada harus absen ke kantor dulu. Dan tersedia banyak contoh teknis lainnya yang menggambarkan betapa peraturan absen datang dan pulang itu tidak efektif untuk karyawan berkategori wartawan.

Tapi dasar kantor berita pemerintah, jadi meskipun status pers tapi perlakuan PNS. Dan benar saja manakala peraturan itu diberlakukan, bisa ditebak rekap absen siapa yang paling ancur. Dan Rara tidak mempedulikan itu, karena baginya penilaian kinerja yang fair bukan dari penuhnya absen tapi berdasarkan takaran result. Banyak karyawan yang patuh absen datang jam 08.00 dan pulang pukul 17.00 tapi sepanjang hari main game atau kegiatan lain yang tak produktif. Lalu bagaimana dengan para kru tivi yang karena alasan teknis kesulitan memenuhi absen?

Baru bicara peraturan internal kantor saja, persoalan tlah menghadang. Apalagi di luaran sana, begitu seringnya kru tivi mendapati kendala gara-gara peraturan yang tak ramah media. Protap pengamanan presiden salah satu peraturan yang paling parno di dunia. Setiap kali Rara atau krunya ke istana selalu saja terjadi perdebatan di ruang pemeriksaan tamu mengenai ketentuan pakaian. Petugaspun tidak memiliki kesatuan pandang tentang kriteria pakaian yang sopan. Yang mereka tau, celana bluejeans tidak diperkenankan karena tidak sopan.

“Eh…eh…itu pake jeans ya…,”Paspampres meneriaki Rara yang melewati gapura X-ray.

“Ih bapak…ini bukan bluejeans pak. Warnanya aja pink bahannya soft gini,”Rara ngeles.

Irfan si Paspampres mendekat hendak mencubit paha Rara guna memeriksa bahan celana Rara.

“Eh bapak mau ngapain? Pelecehan itu pak,”Paspampres tersentak dan mundur.

“Ya udah…sana, sanaa…mau ke mana sih?

“Saya cuma mau ke biro pers, ngurus ID Card pak. Nggak nemui presiden, enggak…”Rara ngledek sambil berlalu.

“Ya udah sana…,”Paspampres enggan berdebat lagi.

“Tuh pak, kalo mau menertibkan yang kayak gitu,”Rara menunjuk bule yg pake rok mini.

“Dia pake rok bahan.”

“Tapi mini, emang sopan?”Rara memberi pandangan.

Sheila dan Awan cekikikan menyaksikan Paspampres dikadalin sama Rara. Tamu bule yang mengenakan rok di atas lutut, cukuplah untuk mengalihkan perhatian. Padahal jelas-jelas celana Rara berbahan jeans, warnanya saja yang pink ke arah maroon. Beberapa gelintir Paspampres masih percaya kalo yang benar-benar dilarang itu celana bluejeans, jadi kalo bahan jeans bukan warna blue masih debatable.

“Mbak…itu Paspampres panik juga ya dibilang pelecehan?”Sheila masih tertawa geli.

“Ha…ha…ha…,”Awan dan Rara tertawa geerrr.

“Bikin peraturan tapi gak punya pedoman.”

“Dieyel sedikit dah goyah, ha ha.”

Bertiga terus melaju melintasi jalan panjang komplek istana untuk menuju ruang biro pers dan media yang terletak di gedung sayap timur. Mereka menenteng berkas data kru yang didaftarkan untuk ngepos di lingkungan istana.

“Pagi pak…,”sapa Rara&Sheila kepada petugas humas.

“Pagi…Persada ya. Kebiasaan, paling telat kirim berkas,”Toni ngedumel.

“He…he…,”bertiga nyegir tak merasa bersalah.

“Karisma, Awan, Rara, Santi,”Toni memeriksa satu persatu data kru.

“Trus kamu siapa?”

“Sheila pak…?”

“Gak ada namamu?”

“Ya belum pak, saya kan anak baru ntar disusulkan,”Sheila beralasan.

“Lah…tadi kok bisa masuk?”

“Yah…pak, ke sini aja masa’ gak boleh?”

“Ini punya Rara mana foto copy KTPnya?”

“KTPnya dah gak berlaku.”

“Trus ngepos di istana gak punya identitas?”Toni mempertanyakan.

“Itu kan ada foto copy SIM dan Paspor?” Rara berujar.

“KTP…?”

“Ya ampun…SIM kan juga kartu identitas pak?”Rara ngotot dikuti Sheila.

“Ah si bapak…,”Sheila turut memprotes.

“Tapi syaratnya foto copy KTP,”Toni menegaskan.

“Paspor itu tidak lebih kuat pak?”Awan membela.

“Lagian saya dapet SIM dan Paspor kan karena punya KTP dulunya?Payah pak toni nih…”

Toni si pegawai Biro Pers dan Media Istana Kepresidenan mempertimbangkan sejenak…

“Ok pak…,”Rara memastikan.

“Makasih pak…,”Sheila dan Awan berpamitan.

Tiga makhluk ngeyel itu berkelebat pergi meninggalkan Toni yang masih ragu-ragu menerima berkas Rara.

*

“Ntar aku turunin di kantor ya,”Rara meminta Awan yang hari itu nyetir sendiri mobil kantor.

“Yah…ikut kita aja mbak,”ajak Sheila.

“Iya Ra…pliiisss,”Awan merengek.

“Knapa sih liputan pake diantar-antar?”

“Ambil gambar gardu induk PLN itu pasti ribet,”Awan mengeluh.

“Ribetnya?”

“Dulu itu kan juga gak bisa Ra, harus izin sana-sini pake surat.”

“Itu kan dulu, kamu jagonya candid kan?”

“Ikut ajalah, daripada gak dapet gambar?”Awan memohon.

“Tuh ada Sheila jagonya ngeyel.”

“Tapi Rara kan emaknya ngeyel.”

“He he…,”berdua meledek.

“Udah mas, kita culik aja mbak Rara,”usul Sheila.

Keluar dari pelataran kantor Sekretariat Negara Awan melajukan mobilnya terus menuju Cililitan tanpa menurunkan Rara ke kantor dulu. Rara hanya geleng-geleng tapi tak terlalu melawan diculik anak buahnya sendiri.

Kali ini Rara menugasi mereka untuk mengangkat persoalan krisis listrik. Di Jakarta, tiap hari terjadi pemadaman listrik bergilir. Para pengusaha berteriak karena kegiatan produksi pabrik terganggu dan mengakibatkan kerugian tak terkira. Penduduk ibukota juga kesal dengan listrik yang byar-pet padahal tarifnya baru saja naik tapi layanan bukannya membaik malah sering dilakukan pemadaman. Kasus serupa juga terjadi di berbagai daerah. Kekesalan kumulatif dari berbagai kalangan pengguna listrik benar-benar tengah menumpah. Dalam situasi seperti itu, berbagai asset PLN tengah dijaga ketat baik dari demonstran ataupun media.

Awan merapatkan mobilnya ke pinggir jalan Cililitan sambil merayap pelan. Gardu induk PLN kebetulan berasa di sisi kiri. Sheila membuka separoh kaca jendela dan menyalakan kamera.

“Ayo mas, sambil jalan…,”Sheila mengambil gambar follow.

“Gak masuk Ra,”tanya Awan.

“Amankan gambar longshot nya dulu,”saran Rara.

“Yah…gak bagus mbak terhalang kawat-kawat,”Sheila mengeluh.

Gardu induk PLN itu memang dipagari kawat keliling, jadi ketika diambil gambar longshot tidak bisa clean terhalang kawat.

“Dah turun dulu aja.”

Rara mengajak Sheila mendekati letak gardu dari pagar dan mengambil gambar dari celah-celah kawat. Selagi Sheila memasang kamera, petugas mengetahui.

“Hei…ngapain?”teriak petugas yang berlari dari pos jaga.

“Cepet-cepet “rec”…,”pinta Rara.

“Iya-iya…,”Sheila sigap merekam sebelum petugas sampai mendekat.

Jarak pos petugas dengan lokasi Sheila menyuri gambar lumayan jauh, puluhan meter sehingga masih ada waktu merekam gambar beberapa saat.

“Sedang apa di sini?”pertanyaan petugas yang tak perlu.

“Ambil gambar…,”berdua koor menjawab tanpa dihinggapi rasa salah.

“Harus ijin dulu, kirim surat dari kantor. Dari mana ini?”

“Persada.”

“Tivi mana itu?”

“Bapak tau Kantor Berita Indonesia?”

“Iya…,”petugas mengangguk ragu pura-pura tau.

“Ya itu…”

“Ya tapi harus tetap ijin dulu.”

Petugas mengajak mereka masuk ke area kantor PLN. Sheila memberi kode Awan untuk membawa mobil masuk mengikuti mereka. Mobil telah diparkir, Awan turun bergabung dan mengambil alih kamera. Rara mengajak mojok dan ngobrol petugas itu menanyakan prosedur perizinan untuk mengambil gambar gardu listrik. Rara mengeluarkan blocknote nya dan pura-pura mencatat setiap informasi yang diberikan petugas. Tapi Rara sudah mengerling ke Sheila juga Awan sebagai isyarat agar mereka segera beraksi.

“Jadi kirim surat dulu ya pak?”

“Iya, ajukan dulu aja permohonannya,”ujar petugas.

“Ntar responnya berapa lama pak?”

“Beberapa hari atau paling lama seminggu lah.”

“Jadi seminggu kemudian baru kita boleh ambil gambar?”Rara menanya gak perlu.

“Ya pokoknya kalo sudah aja jawaban dari atasan.”

“Oh ya, nanti surat ditujukannya ke siapa pak?”

Petugas dengan panjang lebar memberi penjelasan ke Rara yang memang sengaja memperlama pembicaraan. Di seberang mobil sana, Awan dan Sheila tengah khusuk ngesyut gardu PLN terlarang itu dari berbagai angle. Rara menoleh sebentar ke arah Awan dan Sheila mengacungkan jempol.

“Ok deh pak…makasih banyak.”

“Nanti dikirim dulu ya mbak suratnya.”

“Oke.”

“Kalo sudah ada ijin sih, silahkan mau ngesyut mana aja,”ujar petugas pede.

Wuakaka wk wk….,”Rara ketawa dalam hati.

“Yuk…,”Rara menghampiri rekan-rekannya.

Berpamitan sekali lagi dan meluncurkan mobil keluar dari daerah terlarang itu.

“Dapet kan gambar?”Rara memastikan.

“Ya dapetlah…,”Sheila dan Awan cekakakan.

Betapa bangganya mereka telah berhasil mengelabuhi petugas secara berjamaah. Dalam perjalanan kembali ke kantor, Sheila buru-buru mempreview hasil gambar yang diambil dengan hidden camera tadi.

“Dapet kok mbak, tuh…,”Sheila menunjukkan layar LCD.

“Gitu aja pake ijin, kelamaan…”

*

Jalan ke arah kantor tak mudah ditempuh. Kalo gak macet bukan Jakarta namanya. Siang itu kondisi lalu-lintas seperti Jakarta lazimnya, macet di berbagai titik jalan protocol. Yang bisa dilakukan warga ibukota hanyalah menebalkan kesabaran. Jika tidak, bakal menabung stress tiap hari dan lalu mati selekasnya. Meski jatah umur di tangan Tuhan tapi segala problema ibukota pantaslah dituduh sebagai contributor gejala stress akut kolektif warganya.

Tapi Awan, seperti halnya Ozi rekannya terlatih memperlakukan mobil liputannya sebagai kendaraan emergency setara ambulance atau pemadam kebakaran. Lampu hazard kerap kali dinyalakan manakala ruwetnya lalu lintas sudah diambang ketidakwajaran. Mobil berantakan malang-melintang semaunya, saling mendahului tanpa disertai sopan-santun.

Berkat kepiawaiannya berkendara, Awan mampu menerobos segala hambatan di jalan. Kini mobil berpenumpang tiga orang itu tlah hampir berkelok di pertigaan Gambir menuju Jalan Merdeka Selatan.

“Eh minggir…tunggu…,”Rara berteriak.

“Knapa?”

“Ambil gambar itu,”Rara menunjuk alat pendeteksi polusi.

Awan menginjak rem dan meminggirkan mobilnya di seberang kantor Kedubes Amerika.

“Apa sih…?”

“Itu alat, seumur-umur baru kulihat tulisannya “Tidak Sehat”, biasanya selalu “Sedang”,”terang Rara.

Di pojok jalan itu terpajang “Pollution Standard Index”. Ada 3 kategori yang terdeteksi pada alat tersebut: Baik, Sedang dan Tidak Sehat. Sehari-harinya alat itu slalu memunculkan tulisan “Sedang” meskipun waktu pagi sekali saat belum banyak kendaraan melintas atau siang kala kendaraan padat dan asap tebal mengepul. Maka Rara meminta Awan mengabadikan gambar alat pendeteksi polusi yang kali ini menyebutkan udara Jakarta “Tidak Sehat”.

Bertiga turun, Awan menenteng kamera dan Sheila mengangkut tripodnya. Awan memancang tripod di depan sedikit samping kanan dari obyeknya. Posisi ini berseberangan dengan pos pengaman Kedubes AS, dimana para petugasnya berseliweran hilir-mudik mewaspadai setiap aktifitas manusia di sekitarnya. Kadang, tingkat kehati-hatian yang tinggi membuatnya sering tampak bodoh berlebihan. Dan benar saja, kegiatan Awan dan teman-temannya mengambil gambarpun jadi obyek kecurigaan mereka. Beberapa petugas keamanan kedutaan merangsek mendekati kru Persada TV.

“Heh…kalian ngesyut apa?”tanya salah satu petugas penuh su’udhon.

“Kalian dilarang ambil-ambil gambar kedutaan,”kata petugas yang lain.

“Sssttt…,”Rara ngajak Awan pura-pura gak dengar.

Berdua memperhatikan hasil bidikan lensa yang tampil via LCD. Sheila ikut mengerubuti kamera.

“Heh…kalian gak boleh ngesut kedutaan!”bentaknya.

“Bapak ngga liat apa, ke arah mana lensanya?”

“Liat aja tuh monitornya, ngesyut apa?”

“Kantor kedutaan lho di sana, kamera ngadep ke sono. Gmana seh…?”Rara menggaris jidatnya dengan tanda slash.

“Tetep aja gak boleh.”

“Gak boleh ambil gambar di sekitar sini!”petugas ngotot tanpa dasar.

“Batasnya mana? Wilayah kekuasaanmu mana?”Rara menantang.

“Pokoknya gak boleh di sekitar sini. Kalian dari mana sih?”

“Nih…,”Sheila memperlihatkan ID Card yang menggantung di lehernya.

“Tuh… logo di mobil segede dosa gitu gak liat?”Awan menunjuk mobilnya.

“Persada TV?”

“Tau ngga, Kantor Berita Persada?”

Para petugas saling berpandangan.

“Kalian bule dari mana sih, bule Depok? Sama bangsa sendiri kayak gitu,”Rara menyeramahi.

“Baru jadi penjaga kedutaan asing aja, lagaknya…ckckck.”

“Bos kalian lho, bentar lagi digeruduk PKS, mau diusir dari Indonesia.”

Rara dan Sheila bersahutan menyumpah-serapahi para petugas keamanan itu. Belakangan memang kedubes AS acapkali menjadi sasaran demo kolosal umat PKS terkait agresi Israel ke Palestina. Para pengunjuk rasa menghendaki duta besar AS diusir dari Jakarta karena dinilai sebagai sponsor Israel. Para petugas itu keder juga ditakut-takuti begitu.

“Wan…udah kan gambarnya?”

“Beres…”

“Ya udah yuk…”

“Buang-buang waktu aja, ngeladeni petugas overacting…”gerutu Rara.

Mereka ngacir meninggalkan para petugas menuju mobil, tapi Rara & Sheila belum puas rasanya mencaci-maki makhluk-makhluk tak berotak itu. Berdua menolehkan wajahnya ke arah petugas dan lantas memalingkannya dengan kecepatan tinggi. Dibuangi muka begitu, tertegun dan ngeper juga mereka.

*

Bencana yang melanda Padang akibat gempa berkekuatan 7,6 scala Richter itu mengharuskan Rara segera membawa kru terbang ke kota di Sumatera Barat itu. Selagi packing persiapan keluar kota, Rara menghubungi Tedy.

Calling…

Hok, Tedy

“Pink…,”Tedy menyahut.

“Ted, I am going to go to Padang tomorrow morning.”

“Ok, What can I do for you?”

“May I entrust Vic to you?”

“Of course, I’ll pick her up.”

“No, not necessary. I am going to send her to Surabaya.”

“How is the way?”

“She will go by airplane.”

“Alone?”

“Yup.”

“Really, are you sure?”

“She has to brave to go alone.”

“Ok, but you have to accompany her to check in.”

“Yes, I will.”

“Ok, take care your self.”

“Ok.thanks for your kindness.”

“You’re welcome.”

“Bye…”

Rara lalu membujuk Vic agar berani terbang sendiri ke Surabaya. Rara menjelaskan bahwa semua akan diurus, diantar sampai check in dan gadis cilik itu tinggal naik ke pesawat. Beruntung Vic gak rewel apalagi dijanjikan ada Papa Tedy yang menjemputnya di Bandara Juanda.

Dini hari, Rara bergegas bangun karena pesawat Sriwijaya Air yang akan menerbangkan Vic ke Surabaya take off pukul 05.30 dan harus check in 1 ½ jam sebelumnya. Husna, sepupu Rara sengaja menginap di rumah Rara untuk membantu persiapan dan mengantar ke bandara.

“Sayang…ayo bangun sayang…,”Rara membangunkan putri kecil itu.

“Mama jadi pergi?”tanya Vic sambil menggeliat ngantuk.

“Ya jadi, makanya kamu ke rumah papa aja.”

Meski sedikit perjuangan membangunkan Vic, tapi harapan akan bertemu papa Tedy membuat Vic semangat membuka matanya. Mereka harus melakukan persiapan dengan cepat dan langsung meluncur ke bandara. Pukul 03.45 mereka tiba di airport, Husna menunggu di luar. Rara mengantar putrinya menuju ruang check in. Melewati pintu masuk Rara ditegur petugas bandara karena tiket yang dipegangnya cuma satu.

“Mengantar putri saya check in pak?”

Sang petugas melihat gadis cilik yang digandeng Rara, tergerak hati membolehkan Rara masuk. Lolos dari pintu X-Ray, masih dihadang dua petugas lagi yang melarang Rara masuk.

“Mbak, sampai di sini aja.”

“Pak, saya tuh cuma mau nganterin check in?”

“Ngga bisa mbak, mbak harus pake pass, harus izin,”jelas petugas.

“Izinnya ke mana?”

“Di sana, di ruang di menara sebelah sana,”petugas menunjuk menara di seberang jauh.

“Trus, jam segini kantornya dah buka?”Rara mempertanyakan.

Petugas gak menjawab pertanda gak yakin.

“Pak, tolonglah…putri saya tuh masih kecil, baru delapan tahun. Bapak liat?”

“Yah…tapi ini peraturan?”

“Bapak dini hari gini ngajak pemanasan? Peraturan emang gak ada kebijakan?”

“Peraturan ya peraturan!” petugas berkeras.

Rara membalikkan badan petugas dan menunjukkan tempat check in yang hanya berjarak 20an meter.

“Nah…pak,saya cuma mau ngurusi check in di situ. Bapak bisa lihat dari sini.”

“Mbak tunggu dari sini saja!”tegasnya.

“Bapak gak lihat anak saya masih sekecil ini? Anda tuh gak ada pikirannya ya…”

“Mbak yang gak ikut peraturan.”

“Eh pak, peraturan itu yang jalankan manusia, manusia itu ada otaknya,”cetus Rara.

Diceramahi begitu petugas sewot dan kembali ke pintu X ray tempatnya bertugas memeriksa barang bawaan penumpang. Rara memutar otak untuk mengelabuhi petugas. Tak lama petugas lain melintas. Dilihat dari kewibawaan dan atribut seragamnya Rara menduga keras yang ini atasan dari petugas yang tadi.

“Pagi pak…”

“Pagi …”

“Pak…saya mau minta tolong…,”Rara melancarkan jurus rayuannya.

Bapak petugas yang bijak itupun membolehkan Rara mengurus check in hingga membayar airport tax buat putrinya. Rara berterima kasih dan merangkul petugas itu untuk diajak melangkah menjumpai anak buahnya yang tadi mengasarinya.

“Pak…nih boleh sama bapaknya, wk…,”Rara memamerkan.

Petugas itu hanya mengangguk dan tersenyum kecut.

Usai check in Rara menitipkan putrinya pada salah satu awak pesawat. Setelah saling bertukar nomor kontak, Rara mewanti-wanti Wenny kru Sriwijaya Air untuk menjaga Vic.

“Titip putri saya ya pak.”

“Baik.”

“Terima kasih banyak ya.”

“Sayang…kamu ikuti bapak ini ya. Ntar diantar sampe masuk pesawat.”

“Di sana dijemput papa kan?”

“Iya, papa Tedy jemput Vic. Be carrefull honey, have a nice trip,”Rara mengecup kening Vic.

“Bye mom…”

“Bye…”

Berdua saling melambai tangan. Keluar dari ruang check in Rara masih was-was. Ditemani Husna, ia mencegati para pramugari Sriwijaya Air yang akan terbang ke Surabaya.

“Mbak…”

“Mbak…pramugari Sriwijaya Air yang akan terbang ke Surabaya?”

“Iya, ada apa mbak?”

“Gini…putri saya sekarang di ruang tunggu sama pak Weny. Dia akan terbang sendiri, nitip dia ya mbak?”

“Oh…baiklah. Saya akan jaga nanti.”

“Ok…terimakasih. Boleh saya catat no kontak?”

Beberapa pramugari dicatat nama dan no kontaknya dan dipesan untuk menjaga putrinya. Rara seperti senewen mengantar kepergian putrinya terbang sendiri untuk pertama kalinya. Berkali-kali ia juga menghubungi Tedy untuk memastikannya sudah meluncur ke bandara menjemput Vic.

To : Tedy Hok

Help me for keep my daughter, please!

Vic is my princess and the most important person in my life.

Thanks for your kindness.

Setelah memastikan semua ok, Rara bergegas menuju terminal Garuda untuk terbang menuju Padang. Husna mengantarnya hingga pintu check in. Rara berpamitan dan berlalu menuju ruang check in.

***

Luka Berbalut Tawa

Februari 26, 2010 at 7:36 am

Petang hendak merangkak ke arah malam. Rara dan Karisma disertai dua anak magang Ilham dan Tami dengan diantar Patra selaku pengemudi meluncur menuju Tea Cafe, sebuah kafe di kawasan Kemang. Namun mereka tengah terperangkap dalam kemacetan lalu-lintas yang mengular . Padahal, Rara ada appointment dengan pihak kafe jam 7 malam, untuk pengambilan gambar tentang tradisi minum teh yang konon telah menjadi gaya hidup.

Selagi panik tidak bisa menembus kemacetan. HP Rara berdering.

Pasti dari Tea Cafe,” pikir Rara.

Novalino, Andrew

Calling…

“Hallo…”.

“Mbak Rara udah nyampe mana?”tanya Andrew dari seberang telpon.

“Iya, sori mas ini masih macet di tikungan masuk Kemang itu. Masih bisa ditunggu kan?”

“Iya, ngga pa-pa. Ngomong-ngomong kru nya ada berapa orang mbak?”

“Kita berlima sama driver.”

“Oh ya udah, kita tunggu ya.”

“Oke, makasih. Do’ain aku bisa sampe sana ya, he he…soalnya macet gilaaaa.”

Baru aja Rara menutup telpon, mobil kijang berlogo Persada TV itu sudah bisa merambat jalan meski belum kencang. Artinya, kemacetan sudah mulai cair.

“Wah…do’a orang sholeh langsung dikabulkan. Alloh baik banget,”ujar Rara.

“Huuu…,”yang lain menyibir ke arah Rara.

“Lho…baru aja minta dido’ain, belum berdo’a sendiri lho nih.”

Rambatan roda-roda mobil Persada TV kian melaju kencang…

“Mbak…ntar ikutan diramal ya”,pinta Ilham.

“Bayar!”

“Yaaah, perasaan kalo sama Mbak Rara gak ada yang pake bayar.”

“Hemmm, itu biaya konsultasinya Rp.175.000/orang, masa’mo gratis-gratis aja.”

“Sini aja gw yang ramal,”Aris menawari.

“Ah ogah, palingan diramal yang jelek-jelek.”

“Ya iyalah, lelaki lemah gemulai mana ada masa depannya?”cela Rara.

“A..aah,”rajuk Ilham tambah kemayu.

“Eh…Ham, kayaknya PRnya kafe itu matching deh sama elo.”

“Emang kenapa mbak?”tanya Tami.

“Lihat aja,ntar!”

Mobil yang membawa Rara dan rekan-rekan sudah memasuki halaman kafe. Meski sedikit telat, tapi Rara lega juga. Ilham menyamber kotak make up.

“Mbak…,make up mu dibenerin lagi ya,”pinta Ilham.

“Emang berantakan?”

“Makanya kalo dah make up jangan pecicilan mbak!”tukang make up gak professional itu memprotes.

“Dah…ntar aja di dalam.”

“Hallo…halloo, Rara…thanks for your coming,”sapa Andrew segera begitu mobil terparkir.

Aris dan Tami tak kuasa menahan tawa geli.

“Cocok banget Ham,”bisik Tami ke Ilham. Yang dibisiki pengin tersipu kayaknya.

“Ssssttt…,”Aris beri isyarat.

“Andrew…,”Andrew menyalami satu-persatu.

“Karisma.”

“Andrew.”

“Tami.”

“Andrew.”

“Ilham,”Ilham terlihat salah tingkah tatkala lelaki setipenya itu menyalami.

“Kalo yang ini udah kenal banget ya,”ujar Andrew sambil menunjuk Rara.

“Yuk…yuk masuk, udah ditunggu.”

Suasana Tea Café itu emang cozy, sangat pas buat melepas kepenatan usai jam kerja. Beberapa pengunjung menyebar di berbagai sudut ruangan. Kebanyakan dari mereka tak hanya nongkrong tapi berteman laptop. Entah sembari mengerjakan tugas kerja atau sekedar browsing dan chatting.

Di bagian depan sebelah kasir, terpajang tiga rak memanjang dengan sekat kotak-kotak yang memajang beraneka ragam jenis the dari local hingga import. Rara dan kru mencermati isi rak itu dan mereka baru tau ternyata species teh itu ada ratusan jenisnya.

Menariknya, di kafe itu para pengunjung tidak hanya bisa ngeteh sembari hangout, tapi seorang pembaca tarot juga berpraktek di situ. Salah satu adegan yang akan diambil malam itu adalah ruang praktek pembaca tarot, dimana Rara sebagai host juga terlibat menjadi “korban” yang akan diramal.

Ilham menyeret Rara mencari tempat duduk di pojok ruangan.

“Ssst…duduk diam dulu,”Ilham menekan pundak Rara agar terduduk.

Mula-mula Ilham menyapu muka Rara dengan selembar tisu lalu memoleskan lagi make up hingga kembali rapi.

Setelah Ilham merapikan make up Rara, pengambilan gambar langsung dilakukan. Aris tengah mengintip Rara dari balik layar LCD kamera seraya mengarahkan posisi yang tepat. Ilham yang jadi asisten kameramen memberi aba-aba dengan gemulainya. Standby…camera roll…3…2…1…action!

Pemirsa, anda tak hanya bisa ngeteh sembari hangout. Di Tea Café, anda yang iseng pengin menerawang masa depan, ada pembaca tarot di sini. Penasaran, yuuk kita longok!!”

Dalam adegan itu Rara mengajak pemirsa menengok tempat praktek pembaca tarot. Di dalamnya, duduk seorang peramal paruh baya tengah menanti. Wanita berpenampilan eksentrik itu menggenggam dan membolak-balikkan kartu tarot. Rambutnya menjuntai panjang menggimbal terurai. Kepala diikat selendang bak Renny Jayusman. Gemerincing gelang-gelang tulang melingkari pergelangan tangan kiri-kanannya.

“Halo, malam, Bu Tari?”

“Rara?Silakan duduk!”

“Coba Rara bikin tanda tangan dulu di sini!” perintah Tari si pembaca tarot itu.

Rara menurutinya dengan menggoreskan tanda tangan di sehelai kertas.

“Wah…tanda tangannya kok ruwet gini. Aku sarankan tanda tangannya yang simple deh. Calon orang-orang besar tuh tanda tangannya simple bahkan bisa kebaca,”saran Tari.

Lalu Tari menyodorkan segepok kartu.

“Sekarang pilih kartunya.”

“Yang bagus yang mana bu?Pilihin yang bagus aja bu.”

“Oh ya udah, sini.”

“Cut…cut…!”teriak Rara memotong adegan.

Rara, presenter yang merangkap produser ini memberi sedikit arahan ke peramal.

“Ibu jangan nurut aja dengan permintaan saya. Seharusnya kartu ini diambil secara acak kan? Tapi Rara mo ambil yang bagus-bagusnya aja karena takut ketahuan pemirsa, sifat aslinya. Oke, nanti ada perdebatan kecil ya bu?”

Akhirnya adegan itu diulang dan berlangsung mulus sesuai scenario.

“Ok…cut!”teriak Ilham mengakhiri scene ini.

Setelahnya, Tami dan Aris menyelesaikan liputan dengan mewawancarai Andrew serta para pengunjung café. Pengambilan gambar juga dilengkapi peragaan penyajian teh ala tradisi kerajaan china kala dulu lengkap dengan kostum para bangsawannya.

Usai menyelesaikan syuting Aris, Ilham dan Tami ikut nimbrung Rara ke ruang praktek Tari.

“Kita juga donk bu.”

“Aku mau bu.”

“Ya udah, semuanya bikin tanda tangannya di sini,”Tari membagikan kertas.

“Kalo aku gimana bu?”tanya Rara.

“Aduh…kamu tuh gawat yaa. Killing me softly,”ungkap Tari.

Tari terus melanjutkan ramalannya tentang Rara tanpa bisa dicegah. Menurutnya, Rara orangnya sinetron banget. Ia hebat karena paling bisa menutupi kesedihannya. Selain karena lihai berperan, Rara disinyalir memang sangat dekat dengan Tuhan sehingga ia sandarkan semuanya pada Tuhannya. Itu yang membuatnya kuat. Padahal, Tari membaca Rara senantiasa didera problema.

“Kalo orang lain, mungkin sudah bunuh diri Ra,”celetuk Tari.

Rara langsung clingukan ingin memastikan bahwa temannya tidak mendengar ramalan tentang dirinya. Tapi telat, mata mereka terbelalak seolah tak percaya dengan omongan peramal itu. Rara buru-buru mempersilakan teman lainnya untuk diramal.

*

“Makanya Ra…,kalo punya masalah itu cerita-cerita, jangan tahu-tahu bunuh diri,”sindir Aris saat meluncur pulang menuju kantor.

Rara tidak bisa menjawab, untung HPnya bunyi sehingga ada alasan mengalihkan pembicaraan. Ada pesan SMS masuk:

From: Atma Priangkasa (+62818699664)

Date : 27 /03/2007 Time: 22:21:42

Lagi dmana?

To : Atma Priangkasa (+62818699664)

Di jalan menuju kantor, knapa? Engkau dmana?

From: Atma Priangkasa (+62818699664)

Date : 27 /03/2007 Time: 22:22:13

Ngga pa2. Di Mega Kuningan.

To : Atma Priangkasa (+62818699664)

Mo ketemuan?

From: Atma Priangkasa (+62818699664)

Date : 27 /03/2007 Time: 22:23:00

Takut, hatiku masih nyeri rasanya.

To : Atma Priangkasa (+62818699664)

Ya udah, aku nyusul situ. Tunggu!

From: Atma Priangkasa (+62818699664)

Date : 27 /03/2007 Time: 22:23:59

Ok.

“Ris, boleh ngga aku turun duluan?”tanya Rara.

“Kmana Ra, jangan bunuh diri lho!”ledek Aris.

“Mo, ketemuan ama temen.”

“Yakin lu, ngga pa-pa?”

“Ngga, engga kenapa sih? Kalo mo bunuh diri pasti gw kabari. Gw miscall ntar.”

“Pak, aku turun sebelum fly over Casablanca itu ya,”pinta Rara ke Patra.

“Mau diantar sekalian apa?”

“Ngga usah deh pak, makasih.”

Rara berpamitan dengan semua teman-temannya di mobil lalu langsung memberhentikan taxi yang kebetulan lewat. Di dalam taxi menuju Mega Kuningan, hati Rara mulai gundah. Meski besar keinginannya untuk menemui Atma, tapi ia khawatir pertengkaran besar bakal terjadi lagi.

Rara mengamati mobil-mobil yang parkir di pinggiran lapangan bola komplek Mega Kuningan, dan mendapati salah satunya adalah mobil Atma. Rara melongok kaca mobil memastikan Atma di dalamnya. Atma membuka kaca mobil dan mengulas senyum terpaksa.

Sudah hampir 15 menit mereka duduk berdua di jok mobil. Namun belum sepatah katapun meluncur dari mulut masing-masing.

“Sepi ya,” Rara menyindir.

Atma menoleh, menatap dalam-dalam wajah Rara.

“Aku cuma ngga pengin nyakiti dirimu,”Atma membuka kata-kata.

“Tapi aku bingung kalo kamu diam. Walau gmanapun, bicara akan lebih baik, persoalan akan cair.”

“Percuma.”

“Kalo percuma, aku pergi aja.”

“Mau aku bilangin berbusa-busa, kamu tetap memilih jalanmu sendiri. Jadi percuma kan?”

“Aku tuh ngga ngerti ya mas, kamu menghakimi aku seolah-olah aku mengkhianatimu.”

“Aku gak bisa melihat kamu bareng Tedy.”

“Memang kita pernah berkomitmen untuk bersama?”

“Kan kamu tahu aku ada Erna.”

“Ya sudah, trus salah aku jalan sama Tedy?”

“Jangan sebut nama ituuuu…,”teriak Atma.

“Kamu jangan egois, kamu juga ada Erna.”

“Erna itu sudah ada jauh sebelum aku kenal dirimu.”

“Dan aku sakit hati, kamu tidak memiliki keberpihakan yang cukup terhadap diriku.”

“Waktu itu aku harus meredam kemarahan Erna karena dia cemburu sekali sama kamu.”

“Iya, kamu hanya ngurusi dia sampe melupakan gmana perasaanku?”

“Kalo saja kmu tau betapa dalemnya perasaanku terhadapmu,”Atma menggumam.

Malam kian menua namun pertengkaran itu malah menghebat. Rara masih melanjutkan omelannya.

“Kamu tuh ngrasa paling bener sendiri, dengan berpihak pada tunanganmu. Jadi apa artinya diriku, haaah?”

“Rara tolong pahami donk dilemaku.”

“Jangan memperalat dilema itu jadi alasan pembenar untuk mengenyampingkan aku!”

“Kamu juga dengan mudahnya berpindah ke Tedy.”

“Sori ya, waktu itu aku memang ngrasa udah kehilanganmu.”

“Trus, kamu pacaran kan sama dia?”

“Kamu gampang banget ya ngejudge orang lain. Cinta kamu tuh cinta egois.”

“Iya…iya, Tedy lebih berlimpah uang, dia big bos, dia atasan aku dan pastinya aku gak ada apa-apanya. Dia yang paling bisa membahagiakan kamu,”Atma naik pitam.

“Heh mas, jangan kayak anak kecil deh. Ini gak ada hubungannya sama harta benda dan kekayaan ya. Picik sekali cara pandangmu.”

Terdiam berdua beberapa saat.

“Kalo kamu tetap sama Tedy, itu artinya melukai aku,”suara Atma memelan.

“Tapi kamunya boleh sama Erna?”

“Kamu jadian sama Tedy?”

“Belum, tapi kalo kamu tanya-tanya terus, ya jadi.”

“Ya udah, sana…!!! Tapi kalo sayang aku, putusin dia!”

“Belum tersedia alasan untuk membencinya?”

“Tuh… kan, aku terluka say…,”ungkap Atma.

“Mas…aku sayang sama kamu,”ucap Rara bersungguh-sungguh tanpa terbersit unsur bohong© sedikitpun.

Atma hendak membuka suara, tapi Rara keburu mengayunkan jari telunjuknya menutup bibir Atma.

“Ini statement, tidak untuk dibantah,”tegas Rara.

“Kamu gak usah menghiburku, ini semua sudah gak ada artinya.”

“Gak ada artinya, really?”

“Hmmm,”Atma menatapi wajah innocent Rara.

“Bilang…kalo kmu gak sayang lagi. Dan kita gak usah ketemu lagi!”pekik Rara.

Atma tak kuasa mengeluarkan kata-kata lagi dan langsung menghidupkan mesin mobil. Honda Jazz biru metalik itu meluncur keluar ke jalan raya Casablanca. Atma melajukan mobilnya sangat kencang, buncahan emosi masih mengiringi perjalanannya.

“Kalo mo bunuh diri jangan ngajak-ngajak,”teriak Rara.

Cowok berkulit bersih bertubuh ramping itu tak menyahut. Kekalutan hatinya sungguh tengah meradang.

“Mas…kamu tuh cinta sama marah, gedean marahnya ya…?”

Komunikasi masih tetap berjalan searah. Atma masih melajukan mobilnya 80km/jam.

Padahal, Atma biasa mengemudikan mobil dengan sangat lembut, sembari menarik tangan Rara untuk diletakkan di atas gagang persneleng. Tangan keduanya bertumpukan sambil memindah-mindahkan gigi persneleng. Rara pun merasa berbunga-bunga selagi berada di mobil Atma. Cowok bermuka teduh penuh wibawa. Di mata Rara ia teramat sempurna, smart dan penuh ide-ide cemerlang. Selain penyabar, Atma juga dikenal arif dalam menyelesaikan berbagai persoalan di kantor. Tak ayal, ia menjadi tumpuan bagi teman-teman sekantornya sebagai tempat mengadu. Apalagi ia adalah Kepala Perwakilan Surabaya Today di Jakarta yang membawahi puluhan wartawan dan AE.

Hanya saja, belakangan sikap Atma jadi kekanak-kanakan semenjak Rara dekat dengan Tedy yang adalah Komisaris Utama Surabaya Today. Kegundahan Atma wajar, karena Tedy juga menawarkan sejuta pesona. Sebagai bos, Tedy sangat rendah hati dan tidak kalah penyabarnya menghadapi kebengalan Rara. Bahkan, Tedy juga mempersilakan Rara tetap berhubungan dengan Atma. Karena Tedy tahu, kegembiraan Rara tatkala bersama Atma.

“Aku sayang kamu, dan tujuan aku hanya kamu bahagia. Aku tidak akan memaksamu untuk bersamaku, jika kebahagianmu bersama orang lain, misalnya,”tutur Tedy suatu ketika.

“Atma, kenapa kamu jadi keras gini. Aku hampir tidak mengenalimu lagi,”seru Rara dalam hati.

Kali ini, Atma juga tidak melibatkan telapak tangan Rara lagi untuk turut mengganti gigi persneleng.

Lamunan Rara sontak buyar, begitu Atma menginjak rem secara mendadak. Sedan Volvo hitam menyalip dan berhenti persis di depan mobil Atma. Rara mengenali mobil itu dan melarang Atma turun.

“Peluk aku, buruan!”pinta Rara.

“Apaan sih?”

Tok tok tok…cowok yang keluar dari mobil Volvo itu mengetuk kaca pintu mobil Atma.

“Mas, aku boleh bicara sama Rara?”kata laki-laki itu.

“Oh ya, silakan!”

Rara tak bergeming.

“Kamu gak kenal juga main silahkan, silahkan aja.”

“Itu Verdi bukan?”

“Makanya…”

“Ra…,”panggil Atma sambil memberi isyarat agar Rara menuruti keinginan Verdi.

“Ra…ayolah, nanti malah gak selesai-selesai.”

Rara keluar dari mobil dan disambut Verdi. Atma mengawasi dari dalam mobil dengan harap-harap cemas.

“Sayang…kamu apa kabar?”tanya Verdi penuh kerinduan.

“Plak…plak…plak…,”telapak mungil Rara mendarat ke wajah oriental itu.

Yang digampar tak membalas, hanya mengelus pipinya yang memerah.

“Ayo dik, tampar lagi kalo itu membuatmu puas,”Verdi memajang mukanya.

Rara mengeratkan kepalan tangannya. Barisan gigi atas dan bawah beradu, gemeratak.

“Dhiaaass…dhasss…,”beberapa tinju menghujani muka Verdi.

“Bunuh aku dik…bunuuuh…!”Verdi merunduk menekuk lututnya.

“Enak banget cuma dibunuh.”

“Iya…lakukan apa saja asal adik memaafkan aku.”

“Memaafkan, katamu?” Rara menyeringai geram.

Sementara Atma masih gelisah mengamat-amati adegan itu dari balik kaca mobilnya. Sempat membuka pintu mobil dan hendak turun melerai, tapi Rara berteriak meminta Atma tidak ikut campur. Rara sedang menikmati menghajar korban yang tak berdaya di depannya.

“Aku tau kesalahanku sungguh besar dan tak termaafkan, tapi…”

“Nah…tuh tau.”

“Tapi dik…Tuhan aja maha pemaaf.”

“Jangan memperalat nama Tuhan untuk mendapat maafku.”

Verdi masih merunduk dan kini memegangi kaki Rara untuk memohon maaf. Rara menendangkan kakinya. Verdi tak peduli dan tetap menggapai kaki Rara lagi.

“Dik…gmana keadaan Vic?”

“Apa pedulimu…?”

“Dia anak kita dik…”

“Anak kita…kamu bilang?”

“Ada darahku yang mengalir di tubuhnya.”

“Kalo perlu darahnya aku cuci biar bersih.”

“Tapi ada sejarah yang tidak bisa kamu pungkiri,”Verdi masih ngeyel.

“Sejarah itu aku putus, sampai di sini!” cetus Rara seraya berlalu.

“Sayang…sayang…,”teriak Verdi mengejar.

Ditariknya tangan Rara dan Rara mengibaskannya.

“Kamu sudah membuat pilihan, jangan minta aku untuk meralat konsekuensinya!!!”Rara menyelesaikan kata-katanya lantas masuk mobil.

Tok tok tok…

“Jalan mas.”

“Selesaikan dulu Ra…,”saran Atma.

“Ja..laannn!!”

Atma menuruti, dan Verdi teriak-teriak mengejar mobil Atma. Cowok berbody atletis, yang selalu tampil parlente itu tak menghiraukan harga dirinya lagi.

“Rara…Ra…tunggu!”

Yang dipanggil tidak menggubris, terus pergi tanpa meninggalkan rasa belas secuilpun.

***


© biasanya Rara bercanda

Prahara Mendera

Februari 26, 2010 at 7:32 am

Belakangan Rara intens komunikasi dengan Amelia, wartawati tulis dari Persada Biro Papua. Amel mengeluhkan tulisan hasil investigasinya tidak bisa dipublish karena alasan kepentingan negara. Dari hasil investigasinya, Amel mengungkap adanya Gerakan Papua Merdeka yang mulai menggeliat lagi. Bersama Brando, fotografer yang menjadi partnernya, mereka menemukan banyak fakta bahwa gerakan separatis itu mulai bergerak lagi tanpa terendus TNI yang menjaga keamanan wilayah setempat. Tapi Amel dan Brando mendapati fakta kegiatan rapat- rapat mereka di tempat persembunyian. Amel menuangkannya dalam tulisan panjang laporan khusus investigasi, sedangkan Brando mengabadikannya dalam jepretan kamera. Sayang, karya keduanya dicekal dan tidak dipublish.

Pagi itu Rara berniat menemui direktur tivi untuk minta ditugaskan ke Papua. Rara melongok pintu ruang kerja Brahmana yang sedikit terbuka.

“Masuk…!”Brahma menyilakan.

“Pagi pak…!”

“Iya Ra…ada apa?” Brahma membalikkan badan dari yang semula menghadap monitor computer ke arah Rara.

“Pak, saya pengin ke Papua, boleh ya?”

“Mo ngapain?”

“Saya ingin melengkapi investigasi Amel dengan gambar video.”

“Tulisan dan foto investigasi itu aja didrop sama lembaga, ngapain kamu masih mau ke sana?”

“Alangkah bagusnya fakta itu berupa video, saya yakin akan banyak stasiun tivi yang akan membeli. Lagian knapa sih pak kita takut mengungkapkan fakta?”

“Ya, alasannya karena kita kantor berita, misinya adalah menjaga kepentingan negara. Pengungkapan fakta itu akan membuat genting politik nasional.”

“Trus kita mo pura-pura aman, stabilitas politik terkendali, tau-tau mereka memisahkan diri?”

“Hmmm.”

“Ya udahlah pak, saya ke sana aja ya. Saya pengin ngrasain liputan investigatif yang rada menyeramkan gitu.”

“Talkshow mu gmana?”

“Saya udah buat stok untuk 5 episode ke depan pak, jadi kalo saya tinggal 2 minggu masih aman. Lagian saya bosen pak, aktivitas saya banyak di studio, taping, syuting, dandan lagi dan lagi. I am a journalist not artist. Tempat saya di medan laga pak, saya pengin jadi wartawan perang. Laporan live dari medan perang atau wilayah konflik. Wah…saya reportase dengan background peluru berseliweran, wow….,”angan Rara menerawang.

“Ra…”

“Iya pak…sori.”

“Serius mo berangkat?”

“Ya serius pak, kapan saya main-main?”

“Di sana medannya berat lho, kamu tahu itu kan?”

“Itu yang saya cari.”

“Tapi kalo alasan keberangkatanmu untuk investigasi soal gerakan separatis itu, nggak bakal dikasih sama lembaga.”

“Bilang aja mo bikin feature.”

“Tapi SPJ nya gak bisa langsung cair lho.”

“Saya kerja bukan untuk SPJ pak.”

“Coba kamu panggil Ana.”

Rara memanggil sekretaris redaksi tivi Ana untuk turut menghadap Brahma.

“An…ini Rara ngotot mo ke Papua, SPJnya bisa diakali ngga?”

“Cairnya sekitar tiga hari setelah pengajuan pak,”terang Ana.

“Gak bisa diakali?”

“Susah pak, kalo mendadak.”

“Gmana Ra…masih mo berangkat?”

“Saya pake biaya sendiri dulu aja ya pak.”

“Kamu mo pake kameramen ato bawa kamera sendiri?”

“Sendiri aja pak, ntar di sana kan ada Brando yang nemani.”

“Ya udah, kapan berangkat?”

“Ntar sore ya pak.”

“Besok pagi aja, ngga usah lari-lari gitu.”

“Iya deh, makasih ya pak.”

“Good luck!”

Rara berlalu meninggalkan ruangan, Brahma geleng-geleng kepala.

Sekeluar dari ruangan Brahmana, Rara dikerubuti temen-temennya.

“Mau ke mana sih Ra?”

“Liputan donk, liputan…emang mo ngendon di studio?”

“Ke mana…?”tanya yang lain memastikan.

“Papua.”

“Papua…?”

“Mo ngapain?”

“Plesir.”

“Wisata kuliner ya, manggang babi…gitu.”

“Manggang isi koteka.”

Sementara di seberang sana di meja bundar, ada Randu, Farari dan Saif yang tengah membahas program talkshow baru pesanan dari BPPT.

“Presenter nya mo pake siapa?” tanya Farari ke Randu yang jadi penanggung jawab program.

“Tuh…, ada ratu talkshow,”Randu menunjuk ke arah Rara.

“Heeh…gw udah ngga talkshow, tahun ini mo ganti image. Mo jadi ratu plesir,”elak Rara sambil ngeloyor ke ruang teknisi. Rara memesan peralatan untuk pergi ke Papua esok hari.

“Ra…lu terlanjur talkshow ya talkshow…,”teriak Randu.

“Ogah…”

“Harussss!!”

“Bibirku udah ndower, BICARA…BICARA…BICARA,”Rara memperagakan kebiasaannya membawakan acara talkshow “BICARA.”

*

Keesokan harinya Rara langsung terbang ke Kupang. Semalam telpon-telponan sama Amel, dan Amel menyarankan untuk terbang ke Kupang aja dulu karena kebetulan Brando lagi di sana. Mendarat di Bandara El Tari, Rara langsung menuju ruang tunggu. Angan Rara melayang sejenak. Beberapa tahun lalu di bandara ini, ia membawa rombongan wartawan mengikuti perjalanan kampanye SBY. Di ruang tunggu VVIP, SBY dan rombongan disuguhi makanan khas daerah setempat, ada ikan laut bakar yang lazis (meminjam istilah Benu Buloe,red) enak banget. Konon kisahnya, si ikan dibakarnya di pinggir laut dengan dikubur dalam pasir pantai. Wuiih…belum lagi sambal segarnya terdiri dari bawang merah, cabe rawit hijau dan tomat yang kesemuanya dirajang kasar.

“Rara ya…,”sapa Brando.

“Iyap…,”Rara menjabat tangan Brando. Gak nyangka, Brando gak seburuk yang dibayangkan Rara sebelumnya. Meski kulitnya gelap, tapi kayaknya Brando masih ada turunan Spanyol, jadi masih ada kandungan nilai kerennya deh.

“Kok kamu sih?”

“Knapa emang?”

“Kita gak butuh presenter, tapi reporter lapangan.”

“Aku juga biasa di lapangan.”

Brando meneliti sosok Rara dari ujung kepala sampai kaki. Rambut agak pirang setelinga mengombak seperti rautan kayu, dijepit pinggir. Kaos dalam pink dengan tali menggantung di leher. Dirangkapi kaos putih masih kombinasi pink juga di sana-sini, pundak sedikit sabrina, kerutan plus tali di pinggang sebelah kanan. Celana jean ukuran 78 dan sepatu boat high heel.

“Kamu jadi model aja.”

“Brando…Brando….,”Rara mengejar Brando yang meninggalkannya begitu aja.

“Brando…aku bisa lakukan apa saja untuk bisa masuk tim investigasi kamu.”

Brando memandangi penampilan Rara lagi.

“Aku bisa menyesuaikan penampilan, sori tadi kan masih dari Jakarta. Kalo ke daerah aku bisa sesuaikan kok,”janji Rara.

“Tapi kulitmu terlalu bersih untuk keluar masuk hutan.”

“Aku gak masalah kok, aku gak takut hitam.”

“Gak masalah? Kamu bisa ketembak duluan. Warna kulitmu terlalu menyolok di komunitas mereka.”

“Ya udah, ntar aku berjemur dulu di pantai, gmana?”

Lagi sibuk berdebat sama Brando, HP Rara berdering.

“Sori ya Ndo…”

“Angkat dulu!”.

Telpon dari rumah orang tua Rara yang di Blitar.

Ada apa ya?”pikir Rara.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam. Mbak, ini Salma.”

“Iya, ada apa?”

“Mbak, rumah diteror terus sama orang-orang korbannya Verdi. Ayah shock, sekarang masuk rumah sakit.”

“Haaah…gmana keadaannya?”

“Belum sadar masih di ICU.”

“Ya udah, ini aku lagi di Kupang, ntar aku pulang segera.”

“Buruan ya mbak.”

“Iya…iya.”

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

“Knapa Ra…?”

“Ayahku masuk rumah sakit.”

“Ya udah sana, kamu pulang aja.”

“Urusan kita gmana?”

“Ntar aja kalo udah item, kamu ke sini lagi.”

Rara terdiam.

“Ayo…,”Brando menggelandang tangan Rara ke arah loket tempat pembelian tiket. Brando memesankannya tiket ke Surabaya.

“Ndo…,”Rara masih ragu antara mo pulang atau meneruskan misinya.

“Anak durhaka lu, ayahnya sakit masih mo kerja aja. Sana pulang, kamu juga ngga diterima di sini.”

Kebetulan ada pesawat yang terbang ke Surabaya satu jam lagi. Atas desakan Brando, Rara terbang ke Surabaya. Dari bandara Juanda Rara langsung memesan taxi untuk perjalanan ke Blitar dengan jarak tempuh sekitar tiga jam. Baru meninggalkan bandara beberapa kilometer, HP Rara terus berdering. Telpon dari Salma adiknya yang menanyakan perjalanan Rara pulang. Telpon dari kantor, trus telpon dari Tedy.

“Ra…how about your condition? Where are you now?”

“Fine, just arrived in Surabaya.”

“Haaah…you are in Surabaya?”

“How surprise I feel. Where are you? I am going to go to overthere?

“No…not necessary. I will go to Blitar.”

“What happen?”

“My father is cured in the hospital.”

“What his desease is?”

“I haven’t know yet but he is unconscious in ICU room.”

“How come?”

“I will tell you, later.”

“I’ll accompany you, ok?”

“No…, I am able to go my self.”

“I would like to accompany you, please!”

“No…”

“May I instruct to driver to pick you up? Let me know where is your position rightnow, Irawan will pick up you and accompany you to go to Blitar.”

“Not necessary, ok…bye!”Rara menutup telpon.

Tedy menelpon lagi.

“Ra…!!the bad habbit, cut off communication. It is not polite!”

“So, do not disturb me, please!”

“All right, be carefull! Tell me please, when you get the problem.”

Rara berusaha terus untuk menghubungi Verdi, tapi HP Verdi rupanya gak aktif. Rara nyoba ke beberapa temannya, tapi gak ada yang tahu keberadaan Verdi.

Ke mana bajingan itu,”pikir Rara. Perjalanan berasa lama sekali, karena pikiran Rara sudah di rumah sakit membayangkan gimana keadaan ayahnya.

Keluar dari taxi di halaman Rumah Sakit Ngudi Waluyo Blitar, adik-adik Rara: Salma, Garda, Naza dan beberapa sepupunya berlarian menyambut Rara. Isak tangis membahana seketika. Masih dengan tangis yang tersisa, mereka menggiring Rara ke ruang ICU. Rara menubruk ibunya, Sari. Tidak ada kata-kata yang terucap. Disamping tubuh ayahnya yang membujur belum sadarkan diri, tangis Rara ingin pecah meski ditahannya sedemikian rupa. Tapi air matanya berderai deras mengaliri pipi chubby nya.

“Ayah…bangun ayah,”harap Rara memelas seraya menggoyang-goyangkan badan ayahnya.

Sepuluh, lima belas menit ditunggu Rara hampir putus asa. Tubuh Abidin Zein yang dipasangi banyak peralatan medis itu belum juga menunjukkan hendak sadar. Rara menggenggam erat tangan ayahnya. Dan betapa kagetnya, jari-jemari yang beringsut keriput itu mulai bergerak-gerak.

“Ayah…ayah udah sadar?”teriak Rara kegirangan.

“Bu…ibu, ayah sadar,”Rara meneriaki ibunya yang terkantuk-kantuk di sofa sebelah tempat tidur pasien.

Sari, wanita yang dipanggil itu beranjak cepat dan menghampiri suaminya.

“Ayah…ayah udah bangun ya,”bisik Sari, wanita usia kepala 4 lewat yang masih terlihat muda itu.

“Ra…kamu datang Ra…ayah jadi sadar.”

“Alhamdulillah ya bu…,”ucap Rara mengiringi rasa syukurnya.

Rara memang putri kesayangan Abidin Zein. Setidaknya dalam dua hal, Zein mewarisi Rara yaitu nilai-nilai relegius dan ilmu bela diri. Keduanya bisa terlibat masyuk mempelajari dua ilmu itu. Bahkan untuk memperdalam ilmu bela dirinya, Rara semasa MTs sering menantang ayahnya bertarung di halaman rumah. Rara suka gak puas, kalo ayahnya mengalah karena Rara pengin meraih kemenangan yang sesungguhnya dengan bertarung beneran. Tapi kalo ayahnya bertarung beneran, sesekali tubuh mungil Rara dijinjing dengan hanya satu tangan, Rara juga sewot. Rara kecil memukuli punggung ayahnya.

“Ra…,”panggilan lirih Zein mengagetkan lamunan Rara.

“Ayah…, ayah jangan sakit ayah. Ayah cuma pengin Rara pulang kan? Tapi cara manggilnya jangan pake sakit gitu donk, kan bisa telpon baik-baik,”canda Rara.

Wajah lelaki berusia senja itu mencoba membentangkan senyumnya. Direnggutnya tubuh putri kebanggaannya itu.

Dua hari sudah, Zein mendekam di rumah sakit itu. Tapi kini, ia telah dipindah ke ruang perawatan di Paviliun Anggrek kamar 003.

*

“How about our father’s progress?”tanya Tedy dari seberang telpon.

“He gets better.”

“Ra…May I know your account, please!”

“What for?”

“Forgive me please, I just want to help you.”

“I still can handle, thank you.”

“Ok, I trust it. But if you spend your money for the hospital cost I worry your other need will not fulfill. Send SMS your account number, please!”

“Thank you Ted, but everything is ok and there is no problem.”

“But let me know if you get the problem. I beg you, it is for our father, Ra,”Tedy memohon.

*

Di teras paviliun, Salma menceritakan perihal peristiwa yang membuat ayahnya jatuh sakit. Menurut Salma, beberapa hari terakhir orang-orang calon TKI yang dulu direkrut Verdi dan gagal berangkat ke Jepang mulai gerah dan meneror rumah Rara. Keluarga Rara berusaha menjelaskan ke orang-orang itu bahwa Rara tidak tahu-menahu dan tidak ikut-ikut dalam proyek perekrutan TKI tersebut. Tapi maklum juga, mereka yang berasal dari beberapa kota di sekitar Blitar itu, hanya tahu keluarga Rara. Karena waktu itu mereka sering menemui Verdi di rumah Rara. Sebelumnya mereka pernah mencari jejak Verdi ke Jakarta tapi tidak berhasil menemukan.

“Kenapa sih, kalo aku lagi di sini, mereka tidak berani muncul. Giliran aku ngga ada, mereka datang. Beraninya sama orang-orang tua,”Rara gemes.

“Mbak tunggu aja beberapa hari lagi, kali aja mereka muncul,”Salma meminta.

“Aku gak bisa lama-lama di sini, tadinya aku pamit kantor mo ke Papua.”

“Ntar lah mbak, di sini gak ada yang berani ngadepi orang-orang berangasan itu.”

“Gini aja deh, aku mau alihkan liputanku ke Lumpur Lapindo aja dulu, tim kita di sana udah 2 minggu belum dirolling. Lagian ke Papua aku belum bisa diterima. Aku mo ngomong kantor dulu. Sidoarjo sini kan bisa bolak-balik,”Rara memberi solusi.

*

Hari ketiga di rumah sakit, ayah Rara yang ternyata punya gejala sakit jantung mulai membaik. Dan besok pagi sudah bisa dibawa pulang. Rara bermaksud mau menyelesaikan administrasi biaya perawatan ayahnya. Dan betapa kagetnya karena sudah ada pihak lain yang mendepositokan uang ke rumah sakit itu untuk biaya tersebut.

Tak bisa berlama-lama bolos kerja, dengan berat hati Rara berpamitan dengan ayahnya untuk kemudian pergi ke Sidoarjo.

*

Baru dua hari di Sidoarjo, tiba-tiba Tedy datang menjemput.

“Tedy, why you come here?”

“I suggest you to go home.”

“What happen, you get news about father?”

“Father is sick, anymore…in the hospital.”

Rara terdiam sontak air matanya leleh. Tedy mengemasi tas Rara dan memasukkannya ke mobil. Tubuh yang mendadak lunglai itu Tedy tuntun ke mobil hingga mendudukkannya di jok depan. Perlahan ia rambatkan dengan kencang roda-roda Alphard merah maroon itu ke jalan arah luar kota.

“Sorry I didn’t have time for change the car. I think, we need this big car for all our family in the hometown,” Tedy beralasan.

Rara tak menyahut.

“I have to change this car?”Teddy memastikan.

Rara menggeleng. Diantara mobil-mobil Tedy, mobil favorit Rara adalah Toyota IST warna pink yang dipesan khusus oleh Tedy dari showroom langganannya. Setiap kali Rara berada di Surabaya, Tedy menggunakan mobil itu untuk pergi berdua tanpa sopir. Tedy sangat tahu, Rara tidak suka segala fasilitas yang berbau kemewahan. Mobil mewah atau sopir, pengawal dan lain sebagainya. Tedy benar-benar belajar menurunkan “derajat”nya untuk bisa mendapatkan hati Rara. Itupun Tedy masih sering kena semprot. Pengusaha yang juga pemuka gereja itu, mafhum betul kalo hati Rara masih untuk Atma. Makanya ia tak pernah ambil hati dengan segala prilaku Rara yang seringkali tak bersahabat.

Kebisuan mewarnai perjalanan ke arah Blitar. Padahal Tedy masih menyembunyikan apa yang sesungguhnya terjadi di rumah Rara.

“Why didn’t Salma call me directly?”

“She said that your phonecell is out of service area.”

“Oh sorry, perhaps I was reporting when she called me.”

Tedy menyetir dengan kecepatan tinggi, tapi penumpang di dalamnya tetap tenang. Selain tidak berasa, pikiran Rara juga tidak konsen di perjalanan.

Sekitar 100 meter menjelang halaman rumah Rara, terdengar suara hiruk pikuk.

“Ted…, listen it. What is the sound?”

“Ok, let’s see to there.”

“Ted…there is fire, fire at my house,”teriak Rara.

“Honey…,be quiet! Be patient!”Tedy menggenggam tangan Rara.

Rara langsung lompat dari pintu mobil begitu mendapati rumahnya dibakar massa.

“Stop…stop…hentikan…kalian tidak bisa main hakim sendiri!!!”jerit Rara.

Para tetangga Rara sudah berdatangan turut membantu memadamkan api dan mencoba ikut menghalau massa yang menggeruduk rumah Rara.

“Bakar…bakar…!!”

“Siram minyak…!!”

Api kian membumbung tinggi disertai asap hitam pekat bergumpal-gumpal di udara.

“Sudah…sudah…cukuuuup!”

“Ambil mobilnya dulu.”

“Motor…motor.”

Duaaaar…duaaaaar…mobil yang diparkir di garasi meledak karena tersulut api.

Gerombolan itu berlarian menjarah barang berharga dari dalam rumah Rara, motor, kulkas, tivi dan terlihat ada yang melarikan kotak perhiasan milik ibu Rara. Padahal kotak perhiasan itu berada di dalam lemari dan selalu terkunci rapat. Mungkin mereka mendobraknya. Salma dan Garda berusaha menghalangi mereka tapi massa itu terlanjur beringas.

“Bakar lagi, bakaarrr…!!!”

Rara menyeret Tedy ke mobil.

“Ted, your pistol, please!”

“Ra…??”

“Come on, you know how is situation?”

Tedy mengambil pistol dari laci dashboard dan Rara merebutnya.

Dooorrrr….doooorrrr….dorrrr…….

“Hentikan!! ato aku tembak kalian,”ancam Rara dengan suara menggelegar.

Semua langsung terpaku memandang Rara. Rupanya ada provokator di tengah massa itu. Rara mendapati gelagat itu seorang laki-laki yang sedari tadi menggerakkan massa untuk membakar. Didekatinya laki-laki itu, Rara menarik krah bajunya. Tanpa kata-kata Rara mengacungkan moncong pistolnya ke jidat laki-laki yang diketahui bernama Joko itu.

“Aduh…aduuh…,”rintih Joko.

“Ra…Raa…,don’t do it Ra…,”Tedy membujuk.

“Mbak…,”teriak adik-adik Rara, Salma dan Garda.

Dooorrr….

“Diam semua…!!!”

“Kamu semua, kumpul disini!”Rara memerintah teman-teman Joko untuk berkumpul di dekatnya. Walau ragu-ragu mereka menuruti.

“Kalian semua cepat ambil air, padamkan rumahku. Cepaaaattt !!!”

Mereka berpandangan dan melihat ke arah Joko, Joko mengangguk memberikan persetujuan sambil gemetaran.

“Kalo api tidak padam, kepala temenmu ini, pecah,”gertak Rara.

Dalam sekejap si jago merah itu padam, sekitar 25 orang anak buah Joko berikut para tetangga Rara mengerahkan air untuk menaklukkan api itu. Rumah bertingkat paling mentereng di kampung itu tidak bisa diselamatkan, hampir separohnya telah hangus.

Rara menendang Joko hingga jatuh tersungkur. Rara menembaki secara beruntun di sekitar kakinya membuat Joko terkencing di celana. Diinjaknya bagian “burung” si Joko dengan dikucek-kucek.

Aduh…aduh…,”sedari tadi Joko tinggal bisa mengaduh.

“Sekali lagi kamu ganggu keluargaku, kubikin puntung ‘burung’mu,”ucap Rara seraya menodongkan pistol ke arah “burung” Joko yang sudah kuyup dengan urine. Sekali ditendangnya tubuh kekar tak berdaya itu, Joko berlari pergi tapi Rara masih mengiringinya dengan tembakan tiga kali letusan. Joko makin terbirit-birit dikuti teman-temannya. Lurah dan satu pleton polisi dari Polsek Talun yang dibawanya, geleng-geleng kepala. Tak disadari Rara, ternyata mereka sudah datang sejak Rara menghajar Joko tadi. Polisi sebenarnya hendak maju melerai, tapi Tedy melarangnya karena khawatir Rara yang tengah bersenjata malah kalap. Tedy juga percaya, Rara bisa menggunakan senjata secara bertanggung jawab.

Rara mengembalikan pistol ke Tedy dan menyerahkan kedua tangannya ke polisi untuk diborgol. Semua tertawa. Handry Begawan, mengucek-ucek kepala Rara. Lurah Bendosewu itu tak lain adalah kakak organisasi di Kantor NU Cabang Blitar. Sewaktu Aliyah dulu, Rara memimpin IPPNU sedangkan Handry adalah Ketua GP Anshor. Sehingga hubungan keduanya layaknya kakak beradik, apalagi di berbagai event keduanya dipasangkan menjadi MC. Handry yang berumur 26 tahun memang jadi Lurah termuda di Blitar. Ingin rasanya Handry memeluk Rara karena gemes tapi ia melirik Tedy dan mengurungkan niatnya.

“Lha…ayah gmana?”

Rara menggelandang Tedy dan mengajaknya ke rumah sakit Tedy mengajak Garda dan Salma ikut masuk dalam mobilnya, karena mobil ayahnya telah terbakar tadi. Rara tidak sabaran, baru memasuki gerbang rumah sakit, langsung membuka pintu mobil yang belum sepenuhnya berhenti. Berlari sekuat tenaga menuju ruang ICU. Zein yang seharian belum sadar, tatkala Rara menciumi wajahnya kontan membuka matanya.

“Ra…,”suara ayahnya lirih.

“Ayah…ayah harus sembuh. Orang-orang itu tidak akan mengganggu ayah lagi. Rara akan jagain ayah, Rara janji Yaah.”

Zein tersenyum menyemburatkan kebahagiaannya. Rara kembali memeluk erat tubuh renta itu. Isakan tangis Rara kian membuncah.

“Beri kesempatan Rara untuk bahagiakan ayah.”

“Ayah sembuh yaa,”Rara terus beruntun berkata-kata tapi ayahnya tak menyahut.

Rara melonggarkan pelukan dan pelan-pelan melepasnya sambil terus memandangi wajah damai ayahnya yang tak bereaksi lagi.

“Ayah…ayah. Ayaaaaa…….hhhh. Innalillahi wainna Illaihi roji’un,”jeritan Rara pecah di seantero ruang ICU itu.

“Ayah gak boleh pergi, ayah jangan tinggalin Rara, ayaaah…,”tangis Rara membahana diikuti tangis seluruh keluarga. Semua yang ada, ibu Rara, Naza, Garda dan Salma turut merengkuh tubuh Zein yang telah terbujur kaku. Semua menangis sejadi-jadinya. Tedy menenangkan Rara dan juga yang lain.

“Innalillahi wainna Illaihi roji’un,”Tedy berucap.

“Ra…father have passed away in peace in your keep, his daughter who is the most he love. You have to willing him,ok?”bisik Tedy.

Selama tiga hari Tedy tinggal di Blitar, mengurusi pemakaman ayah Rara sampai acara tahlilan. Setelahnya Tedy kembali ke Surabaya bersama Rara dan mengantarkan Rara ke bandara untuk kembali ke Jakarta.

***

Gara2 Ra2

Februari 6, 2010 at 5:49 am

Episode: Funky2 Forever

Memasuki lobi kantor, Rara nyaris berpapasan dengan Dirut Kantor Berita Persada Afni Maula. Rara masuk dari pintu utama sedangkan Afni dari pintu samping. Sebelum si bos sempat memergokinya, Rara mempercepat langkah kakinya menuju lift. Beruntung ada satu lift yang sudah menganga pintunya, bersegera ia memasukkan tubuh mungilnya sambil berharap si bos tidak sempat menyusul masuk di lift yang sama. Tapi harapan jahatnya tidak terkabul.

Iiih…,gak enak bener satu lift sama si bos,”Rara membatin.

Afni orang terakhir yang masuk lift yang sudah penuh itu sehingga posisinya persis di depan pintu. Rara menggeser badannya makin ke pojok sambil merogoh sekenanya kertas-kertas dari dalam tasnya, lalu pura-pura baca untuk menghindari ngobrol sama bos. Lantai demi lantai tlah terlewati, pintu lift membuka dan menutup mengantar para karyawan ke ruangan kantor mereka. Satu demi satu penumpang lift meninggalkan Rara dan Afni yang menuju lantai 19. Ruangan lift mulai melonggar dan Afni bergeser ke belakang.

“Eh Rara…,”sapa bos ketika membalikkan badan.

“Pagi pak…,”sapaan balik Rara.

“Aduuuh…kamu cerah bener hari ini. Ini seragam hari Rabu ya?” Afni menyindir.

Kostum Rara hari ini ngejreng, warna pink metalik. Padahal hari Rabu seharusnya pake seragam.

“Iya pak,”Rara menjawab enteng.

“Seragam dia memang pink pak. Senin pink, selasa pink, rabu pink…,”sahut security yang mengoperasikan tombol lift.

“Everyday is pink,”Rara memantapkan ejekan itu.

“Kamu memang suka pink?”tanya bos.

“Enggak…”

“Trus…?”

“Jalan hidup,”jawab Rara sekenanya.

Seisi lift tertawa geli.

“Oh ya Ra…tadi kayaknya ada cowok nyari kamu,”Afni mengabarkan.

“Siapa pak?”

“Mana saya kenal, kan penggemarmu banyak. Kayak artis sih tapi bule.”

“Oh…”

“Aha…iya, kayak sapa iklan fatigon itu?”

“Ari Wibowo?”

“Ya…ya, bener banget kayak kembarannya Ari Wibowo tapi rambutnya pirang ikal.”

“Ya pak, makasih ya.”

“Lho…kamu gak temui dulu.”

“Ya…gampang nanti pak.”

“Yah…Rara, cowok keren gitu ditelantarkan. Ckckck….”

“Hmmm…yuk pak…”

“Ya…sukses ya Ra…”

“Thanks pak.”

Keluar lift Rara langsung ngeloyor ke tempat mesin absen. Mesin yang musti dihampirinya setiap pagi dan malam hari, sehari dua kali. Menyebalkan, tapi itulah peraturan yang memaksa “korban” menunaikannya. Meninggalkan mesin absen lalu masuk ruangan dan duduk manis, nyalain computer. Lagi khusu’ membalas email-email dan message yang masuk ke facebook…

“Rara…,”seseorang bersuara berat memanggilnya dari belakang kursi. Rara kaget bukan kepalang.

“Aduh…Deka ngagetin aja.”

Yang dimarahi malah mengumbar senyum.

“Rara sibuk ya?”

“Biasa.”

“Perlu dibantuin ngga?”

“Enggak,”jawaban singkat yang ketus.

Teman-teman Rara yang sudah mulai berdatangan, tertawa geli menyaksikan adegan Rara digodain sama cowok autis di suatu pagi, pagi sekali.

Dijawab ketus-ketus tak membuat Deka beranjak, malah mengambil kursi dan duduk menyebelahi Rara. Karuan saja Rara kian sewot.

“Rara sibuk apa sih sampe gak bisa diganggu?”Deka mengajukan pertanyaan yang relatif sama, gak penting dan gak perlu.

“Hemm…,”Rara malas menjawab.

Tidak memperoleh respon positif, tak membuat si autis pergi berlalu. Pertanyaan-pertanyaan datar berulang masih saja diajukan.

“Deka…!”

“Oh ya…Ra…kamu mau dibantuin?”

“Sungguh…kamu mau bantu?”

“Iya…iya,”jawab Deka bersungguh-sungguh.

“Tinggalin aku!”

“Yah…kok begitu?”tanya Deka dengan muka bodoh tak berdosa.

Rara beranjak dari kursi dan Deka mengikuti. Ditatapnya Deka dengan sorot mata penuh intimidasi. Yang dipelototi ngeri juga dan perlahan berjalan berlalu. Tatapan Rara masih membututi punggung Deka, memastikan hingga cowok aneh itu benar-benar keluar dari ruang redaksi tivi. Dalam perjalanan menuju pintu keluar, Deka masih sempat menoleh ke belakang tapi bergegas memalingkan wajah takutnya begitu mendapati Rara masih memandangi.

“Hyaaa…h!”Rara membentak dengan menghentakkan kaki layaknya mengusir seekor ayam.

Deka mempercepat langkahnya, terbirit-birit. Kontan tawa pecah seisi ruangan. Sepeninggal Deka, gosip mengenai keunikan dirinya menyeruak.

“Gitu-gitu itu anak pemilik Rumah Sakit Arifa lho,”terang Iboy si editor.

“Wah tajir banget donk…,”teriak Lia gemes.

“Anak mami banget, tapi.”

“Lu ntar dilabrak maminya lho,”Iboy menakuti Rara.

“Heh…”

“Iya, dia itu katanya orang yang gak pernah nyentuh tanah ya.”

“Begitu keluar lobi udah dijemput mobil, keluar mobil udah langsung masuk rumah.”

Tak terasa anak-anak tivi yang pagi itu terlibat penggosipan Deka sudah duduk rapi semua mengelilingi meja bundar. Beberapa diantaranya telah menggelar makanannya di meja. Di kantor ini, tidak ada cerita makanan milik pribadi semuanya milik bersama. Kecuali Santi, karena alasan higienitas ia tak pernah mau berbagi makanan dalam situasi darurat sekalipun. Selainnya, siapapun yang bawa makanan langsung digelar di meja untuk selanjutnya disantap siapa saja yang menginginkannya. Begitupun pagi itu, mulai dari gorengan, lontong sayur sampe rujak udah tersaji di meja mengiringi gemuruhnya gosip tentang si autis.

“Tapi jangan salah lho, gitu-gitu anaknya pintar. Kalo ngga, gak bakal kepake di Persada,”bela Iboy.

“Masa’ sih, tampangnya o’on gitu?”

“Iya emang, tapi pinter. Di atasl tugas dia translate ke bahasa Inggris,”jelas Iboy.

“Oh ya…?”

“Dia juga bikin analisa pasar uang. Analisa dia tuh banyak dipake sama Reuters, pokoknya lakulah,”Iboy masih gencar membela Deka.

Iboy melawan arus di tengah pandangan miring teman-temannya terhadap Deka.

“Ah…dia ngomongnya kan suka asal.”

“ Kemarin di depan lift nyalami pak Hardi sambil bilang:anjing,”Ana menyontohi.

“Nah itu dia, dia tu lugu banget jangan sampe diajarin kata-kata kotor. Dia akan ucapkan di sembarang tempat.”

“Sama teman-temannya diceritain soal seks dan istilah-istilahnya. Eh dia jadi ngomong sembarangan, di rapat pernah kayak gitu,”cerita Iboy disambut gelak tawa.

“Tuh anak keterbelakangan mental atau apa sih?”

“Bukan. Kalo keterbelakangan mental itu bodoh,”Ratri menerangkan.

“Iya, tanya Ratri tuh masuk kategori apa dia?”saran Iboy.

Ternyata Ratri yang sarjana psikologi juga tidak berhasil mengidentifikasi jenis “penyakit” Deka.

Selagi rumpian menjalar ke segala analisa, kedatangan Anda menginterupsi suasana. Anda memaksa masuk kantor dalam kondisi menggigil demam.

“Knapa Nda?”tanya anak-anak tivi.

“Dah kayak kucing kurap kecemplung got aja,”komentar yang lain.

Anda duduk bergabung dalam majelis redaksi tivi dengan dikerubungi segenap kru. Ada yang memeriksa kening dengan punggung telapak tangan dan lantas membandingkan terhadap suhu pantatnya. Ada pula yang membuka-buka kelopak mata Anda, layaknya dokter memeriksa pasien. Sebagian lain, menyuguhkan seluruh makanan ke hadapan Anda.

“Asyhadu Alla illaaha illalloh…,”Rara menyalami tangan Anda dan menuntunnya bersyahadat.

“Iya Nda,kmu tuh masuk Islam biar sehat,”bujuk Ozi.

“Ayo…ayo…,bismillahir rahmanirr rahiim…,”Rara melanjutkan ajarannya.

“Apa-apain sih ini. Kalian mau menjerumuskan aku?”Anda mengibaskan tangannya.

“Daripada jadi Kristen gak jelas gitu, ke gereja juga enggak,”cela Rena

“Eh jam 8 gw ke Kejagung,”Rara memotong guyonan teman-temannya.

“Lu ke lapangan Ra?”tanya Lia.

“Iya…knapa? Si Tami gak masuk soalnya, sakit.”

“Lha…ntar yang jaga gawang siapa?”Santi khawatir

“Gampanglah, ntar gw koordinasi dari luar.”

“Naskah?”

“Kirim ke email deh…”

“Ya udah, cepet balik ya Ra.”

“Abis wawancara ntar gw tinggal, biar Ozi VJ aja.”

“Jalan Ra…?”

“Yuk…”

Ozi langsung bergegas mengambil kamera.

“Ini mic nya,”Ozi menyerahkan microphone ke Rara.

“Gw duluan yaa,”pamit Rara.

“Daaa…”

Belum sempat Rara & Ozi pergi keluar…

“Ra…ada telpon nih…,”Santi dari pojok ruangan mengacungkan gagang telpon.

“Siapa…?”tanya Rara sembari mendekat.

“Dari front office…”

“Hallo….”

“Mbak Rara…ini ada tamu,”Lina mengabari dari seberang telpon.

“Siapa…?”

“Bule mbak, namanya Nouval,”Lina sedikit berbisik.

“Biar tunggu di situ aja.”

*

“Hei…a.. pa kabar Rara…? Apakah Rara sehat-sehat saja?”sapa Nouval dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.

“Baik dok…,ngapain ke sini?”

“Lho…jangan panggil saya dokter. Saya Nouval datang untuk menjumpai Rara.”

“Anda yang memperlakukan saya seperti pasien?”

“Oh…maaf kalau begitu. Tapi Rara sehat, bukan?”

“Sehat kalau ngga diganggu.”

“Oh…apakah saya mengganggu?”dokter spesialis syaraf itu merendah.

“Begitulah…”

“Tapi saya mau bicara-bicara mengenai hubungan kita?”

“Hubungan…,memang kita punya hubungan?”

“Iya…tentang kita?”

“Wah…halusinasi loe…,”Rara menuduh.

“Ssssttt…,”Ozi melerai.

Tampaknya Ozi tidak tega menyaksikan si bule dipermainkan Rara. Naluri “kewanitaannya” pun mulai menggeliat.

“Ra…mending buat gue aja nek…,”Ozi mengedip genit.

“Lu tuh ya…kalo ada cowok melek dikit langsung aja keganjenan. Gak jelas.”

“Kita kan AC-DC bo…,”Ozi menyentil pundak Rara dengan jemari yang mengriting.

Ozi terus membujuk Rara agar memperlakukan dengan baik, tamu yang sudah jauh-jauh datang dari California itu.

“Tapi aku lagi mau kerja nih…buru-buru,”ujar Rara.

“Boleh diriku mengikuti kamu ya?”Nouval memohon sambil menepuk dadanya seraya merunduk.

“Mo ngapain, ini liputan.”

“Tidak apa-apa, saya mau ikut saja ya.”

“Udah…ajak aja,ntar buat lucu-lucuan,”bisik Ozi.

“Boleh juga…,”Rara girang dapet mainan baru.

“Ok…let’s go…!”

Seperti biasanya Ozi tidak meminta supir untuk mengantarnya liputan. Karena supir yang tersedia rata-rata sudah tua dan bermental PNS yang tidak memahami ritme kerja kru tivi dengan load tinggi. Daripada diantar supir yang menyertainya dengan keluh kesah, Ozi lebih suka menyetir sendiri.

“Bagaimana kalo menggunakan mobil saya?”Nouval menawari.

“Mobilmu mana?”

“Ini…,”Nouval menunjuk seraya berjalan mendekati mobilnya.

“Mau liputan pake ini?”Rara menunjuk mobil Land Cruisernya Nouval.

“Ya udahlah Ra gak usah diperdebatkan, malah keren kan,”Ozi membujuk.

Rara menyeret Ozi menuju mobil liputan Persada TV, Nouval berlari kecil mengejar keduanya.

“Kita pake mobil liputan aja.”

“Menggunakan mobil ini?”

“Iya knapa, jelek? Ada masalah?”

“Tidak…tidak…,”Nouval bergegas menyetujui sebelum kena semprot.

Ozi geleng-geleng prihatin melihat bule teraniaya itu. Saat mobil mulai meluncur meninggalkan Wisma Persada, betapa girangnya Rara. Lagu Baby Doll milik Utopia diperdengarkan oleh radio kesayangannya.

“Kuajak kau melayang tinggi,

dan kuhempaskan ke bumi.

Kumainkan sesuka hati,

lalu kau kutinggal pergi…

Ozi menambah volume suara radio.

“Kenapa Zi…?”

“Lagu kebangsaanmu kan?”

“Tahu aja…,”sahut Rara tanpa tersipu.

“Ya tahulah…kamu paling demen kan kalo cowok dalam keadaan teraniaya gitu?”

“Nov…when you arrived in Jakarta?”Ozi mulai menyapa Nouval yang duduk di sebelah.

“I just arrived in airport this morning.”

“Halaah…lu jangan ngomong bahasa Inggris sama dia, biar dia yang bicara bahasa kita.”

“Biarlah Ra…daripada dia maksain bahasa Indonesia, susah gitu?”

“Lu gak punya nasionalisme lu.”

“Lu sama Tedy juga in English?”

“Beda, kalo Tedy dah jadi WNI.”

Mobil Ozi masih melaju kencang menyusuri jalan Sudirman dengan penumpang tak ber-seatbelt.

“Zi…Ziii..Ziii…,”teriak Rara saat polisi menyetop mobilnya.

Ozi membuka kaca mobil.

“Selamat pagi…,”sapa polisi

Rara melongok lalu turun mobil.

“Hey…Amri?”sapa Rara dengan menyalami sok akrab.

“Hi…,”balas polisi itu bingung.

“Sekarang dinas di sini? Ya ampun gw susah banget nyari lu, nomormu ganti ya? Nomormu donk,”Rara nyerocos tak memberi kesempatan lawan bicaranya berpikir.

Yang ditanyai mesam-mesem dikerumuni tanda tanya. Rara mengeluarkan hp dan meminta nomor hp polisi itu.

“Aku miscall yaa? Kapan-kapan makan siang di Semanggi yuuk!”ajak Rara.

“Boleh, deket sama markas,”jawab Amri setengah ragu.

“Eh ntar kalo lu udah ada waktu, kabarin ya?”

“Oke, thanks. Seneng ketemu kamu,”Amri membual.

“Bye…,”Rara memasuki mobil.

Ozi masih heran dengan sikap Rara yang akrab banget sama polisi yang menilangnya.

“Temen lu, Ra?”

“Bukan.”

“Kenal?”

“Enggak,”Rara menggeleng.

“Haaah…lu kibulin dia?”

“He..he…,”Rara cengengesan.

Ozi dan Nouval geleng-geleng.

*

Memasuki area liputan berarti tiba saatnya Ozi tebar pesona.

“Hallo…hallo, selamat pagi semuanya.”

“Telat lu.”

“Bo’ong, kalian aja nyantai gitu.”

“Eh…tuh di dalam mobil siapa?”tanya para wartawan.

“Ari Wibowo ya?”

Segerombolan reporter dan kamerawan merangsek ke arah mobil Persada TV, mereka mengira ada Ari Wibowo di dalamnya.

“Bukan…bukan…, itu cowoknya Rara kok buat keroyokan gitu sih?”Ozi mencegah dengan penuh iri.

Nouval bingung bukan kepalang jadi kerumunan para pemburu berita.

“Heh…heh…bubar…bubar…kayak gak pernah liat bule aja,”Ozi membubarkan konsentrasi massa.

“Wuih…ganteng banget gila,”ujar salah satu reporter penuh gemes.

“Buat gue aja Ra.”

“Ambil aja…!”

“Widjanarko belum datang kan?”Ozi segera mengalihkan bahasan.

“Kayaknya gak datang deh,”jawab Ali dari koran Merdeka.

“Trus…?”

“Palingan pengacaranya.”

“Datang…datang tuh pengacaranya,”teriak para wartawan saat Hendra Brata, pengacara Widjanarko Puspoyo memasuki teras Gedung Bundar.

“Pak Widjan ke mana pak, sakit ya pak?”,celetuk wartawan. Sudah tradisi belakangan ini para tersangka kalo lagi mao diperiksa mendadak sakit. Alasan paling ampuh untuk menghindari interograsi dari penyidik.

“Iya, bapak lagi demam tinggi. Pagi ini saya atas nama klien saya akan melapor ke tim penyidik,”jelas Hendra.

“Soal aliran dana dari PT TDU 1,2 juta dollar itu?”Rara memotong basa-basi Hendra dengan pertanyaan yang langsung menukik.

‘Tidak ada aliran dana itu, klien kami tidak ada menerima transfer apa pun,”Hendra mencoba ngeles. Selanjutnya ia mengeluarkan kertas skema aliran dana dari Vietnam Southern Food. Dalam penjelasannya, Hendra selalu membelokkan substansi persoalan.

Sementara puluhan kamera dan tape recorder tengah merekam keterangan pers itu, Rara terus menyela pertanyaan yang membuat kesal Hendra.

“Tapi penyidik menyatakan indikasi dana illegal mengalir ke PT ABIL saat impor beras itu berlangsung,”Rara meneriakkan pertanyaan karena suasana sangat gaduh.

“Tidak ada, dana yang mana itu?”

“Sumpe lu?”sela Rara.

Karuan saja Hendra sewot.

“Eh kalian tuh belajar hukum ya, biar tahu persoalan.”

“Kita udah belajar hukum, makanya tahu ilmu ngeles nya pengacara,”sahut Rara.

Dicela begitu Hendra langsung pergi meninggalkan kerumunan para kuli flashdisk itu.

“Yah…Rara sih…kabur deh dia…”

Sepeninggal Hendra, anak-anak itu kembali bergerombol duduk-duduk di teras menunggu para saksi kasus dugaan korupsi impor beras Bulog, diperiksa.

“Hari ini ada berapa saksi?”

“Kayaknya lima orang, salah satunya pejabat aktif Bulog.”

“Kenal muka nya ngga?”

“Enggak.”

Obrolan diantara wartawan itu acapkali buyar manakala ada kendaraan mewah melewati teras atau orang-orang parlente yang dicurigai sebagai koruptor atau saksi yang dipanggil Kejagung.

Setiap orang yang dicurigai turun dari mobil mewah, wartawan melontarkan pertanyaan secara gambling aja.

“Mau diperiksa ya pak? Sapi atau berasÃ?”celetuk wartawan.

Ketika ada orang yang dicurigai lewat lagi, para kamerawan langsung menyorotnya sedangkan para reporternya teriak:
”Pak, sapi apa beras?”mencoba memastikan dalam kasus apa dia diperiksa. Lama kelamaan para wartawan menertawakan prilaku mereka sendiri.

“Abis gak jelas,”keluh salah satu kamerawan.

Sementara di parkiran, Nouval tengah gelisah dikurung dalam mobil. Ia putuskan untuk keluar dan menyusul Rara saja meski beresiko jadi pusat perhatian.

“Eh…eh…mau kmana? Masuk, masuk…!”Rara mendorong tubuh Nouval.

“Masihkah Rara lama?”

“Tadi siapa yang suruh ikut?”

“Tidak ada yang menyuruh, semua mau saya.”

“Masuk…ntar dikeroyok cewek-cewek itu, mau?”

Bule na’as itu hendak membututi tapi Rara berbalik dan menariknya masuk mobil. Ozi menyusul dan menyegah Rara agar tidak berbuat kasar lebih jauh lagi. Berdua kembali ke teras Gedung Bundar Kejagung.

“Ra…salah dia apa sih kmu aniaya begitu?”

“Biar aja, biar kapok.”

“Biar kapok?”

“Ya biar gak ngejar-ngejar gue lagi.”

“Tapi salah dia apa?”

“Dia terlalu,”jawab Rara singkat mengundang tanya.

“Terlalu? Terlalu bagaimana?”Ozi pengin tau.

“Terlalu ganteng, terlalu pinter dan terlalu kaya.”

“Haa…hhhh….???”

*


l lantai 20 tempat redaksi tulis

à Dua kasus yang sedang disidik Kejagung yaitu kasus impor beras dan impor sapi fiktif.

===========================================================================

Kebanggaan Atas Masa Lalu

Desember 30, 2009 at 4:51 am

Pagi-pagi sekali ruang redaksi tivi telah disesaki suara-suara intruksi sebagai pertanda aktivitas produksi dimulai.

“Ra…lu pegang profil Persada ya,”Vian meminta.

“Ogah…,”jawab Rara singkat,padat dan jelas.

“Kok ogah?,”Vian yang selama ini dijuluki reporter spesialis profil protes.

“Kecuali gw bikin suka-suka gw, jangan dikoreksi sama direksi,”Rara mengajukan syarat.

“Coba aja kalo bisa?,”Vian menantang.

Dua makhluk ini (Rara&Vian, red) meja kerjanya berdampingan, tapi keduanya tidak pernah menjalin hubungan bertetangga dengan baik. Layaknya Tom & Jerry tiada hari tanpa pertikaian. Rara dalam banyak hal memperoleh keberuntungan dibandingkan Vian. Itulah picu pasal Vian sering menyerang Rara karena alasan kecemburuan yang tersembunyi. Dalam posisi meja kerja pun, Rara beruntung mendapat posisi di pojok dengan view lebih terbentang luas. Dari tempat duduk Rara, pandangan keluar via kaca bisa mengitari Monas, Gedung Indosat hingga Gedung BI. Tempat duduk inilah yang dulu diincar Vian, entah gmana cerita PC dan monitor Rara sudah terpasang di situ. Dan Vian harus rela mendapat posisi di sebelahnya. Sebelah Vian masih banyak meja-meja berderet yang disekat partisi dengan dilengkapi computer tentunya. Namun semuanya tak berpenghuni tetap, reporter, anak magang dan para kamerawan bisa hilir mudik menggunakannya.

Setiap kali Kantor Berita Persada berulang tahun, selalu membuat company profile baru. Ini terjadi sejak unit tivi lahir empat tahun silam. Di era multimedia, setidaknya kelahiran “tivi” melangkapi unit-unit redaksi yang ada, redaksi tulis dan foto. Kedua redaksi ini dikonsumsi oleh media cetak dan web. Sedangkan “tivi” belum sepenuhnya menjadi kantor berita tivi. Produksinya by order Depkominfo berupa tugas PSO (Public Service Obligation) yang tayang di SunTV dengan direlay oleh tv-tv daerah. Selebihnya tivi sering dimanfaatkan oleh para petinggi Persada untuk mengabadikan acara-acara seremonial mereka. Dan tugas rutinnya tivi juga, membuat company profile setiap tahun.

Selama ini, Vian yang jadi andalan untuk mengerjakannya. Pasalnya dia yang paling akomodatif dengan selera para bos. Setiap Vian bikin script untuk profil selalu diperiksa oleh direksi, direvisi sana-sini. Naskah profil bisa bolak-balik dari direktur yang satu ke direktur yang lain. Meski dongkol, Vian masih tergolong sabar untuk menerima nasib bahwa naskahnya diobrak-abrik banyak tangan. Mereka musti memastikan bahwa profil benar-benar memperlihatkan sosok Kantor Berita Persada yang membanggakan.

“Ya profil emang kayak gitu Ra, harus penuh puja-puji,”Vian menjelaskan.

“Kalo gw yang bikin profil, berangkat dari kondisi terkini and then about the future. Tentang mimpi ke depan, bukan masa lalu,”Rara menginginkan.

“Formatnya sudah kayak gitu Ra,”Vian mengingatkan.

Profil Persada selalu diawali dengan gambar Bung Karno membacakan teks proklamasi, setelah itu disusul dengan narasi yang menceritakan bahwa Kantor Berita Persada lahir sebelum kemerdekaan. Sebuah kebanggaan yang terus didengung-dengungkan, sebuah kantor berita yang lahir mendahului kemerdekaan negeri ini. Sementara, Rara benci sekali dengan orang-orang yang hanya bisa bangga dengan masa lalu. Makanya ia selalu menghindar dari tugas membuat profil kantornya sendiri.

“Oke ya Ra, lu pegang profil, gw mau cuti,”Vian mengulang permintaannya.

“Ogah!,”sekali lagi penolakan Rara tegas.

Saat serah terima-tugas tidak berlangsung mulus, karena yang satu ngotot gak mau lagi garap profil sementara yang lain juga gak mau menggantikan, suara-suara brisik tiba-tiba merangsek memasuki ruang redaksi tivi. Suara yang berasal dari lelaki mungil bernama Denny. Mantan Kepala Biro Persada di Jepang yang baru tiga bulan ini kembali ke tanah air. Denny adalah Ketua Panitia HUT Persada tahun ini. Dan jadi produser profil Persada berarti akan banyak berurusan dengan makhluk cerewet dan bawel ini. Itulah kenapa Rara mati-matian gak sudi menangani tugas untuk menggarap profil.

Denny sedang menemui Arya, mereka membicarakan rencana produksi profil. Brisik dan sangat brisik karena gaya bicara Denny yang selalu gegap-gempita dan mendominasi pembicaraan. Meja kerja Arya beradu ujung dengan tempat Rara, meski berjarak sekitar 10 meter, tetap saja suara Denny berasa begitu brisik di telinga Rara dan Vian.

Hari itu tanggal 9 Desember 2009, Hari Antikorupsi Sedunia. Diperkirakan ibukota akan dikepung demonstrasi di berbagai titik antaranya di depan gedung DPR, bunderan HI, depan gedung BI dan Istana Negara serta gedung KPK. Puluhan ribu aktivis dari berbagai elemen akan mengusung isu skandal bank Century, serta mendesak pemerintah untuk menuntaskan kasus yg merugikan Negara sebesar 6,7trilyun rupiah itu. Untuk meng-cover peristiwa ini, Rara menurunkan seluruh kru nya untuk ke lapangan. Menyaingi Denny yang tengah masyuk membahas profil dengan Arya, Rara mengumpulkan kru nya di meja meeting. Sore hari sebelumnya Rara telah membagi tugas dengan menulis plotingan di whiteboard besar yang dipajang bersebelahan dengan meja meeting. Tapi mereka seneng aja mendapat arahan sebelum ke lapangan.

“Vian, lu jadi ya wawancara dokter di Harkit (RS harapan Kita, red)?,”tanya Rara.

“Jadi, jam 9.”

“Ya udah, lu wawancara dulu aja abis itu ntar gw kabari musti geser kmana,”terang Rara.

Vian tengah menggarap produksi TV Magazine tentang tingginya angka kematian bayi di Indonesia. Tapi setelah wawancara, dia juga harus bergabung dengan kru lain meliput demo akbar hari ini.

“Liv, kmu tolong ke BKKBN aja ya. Di sana ada penganugerahan penghargaan KB lestari. Kebetulan kita juga lagi bikin TV Magazine tentang program KB.”

Rara punya perhatian khusus ke Livia, karena gadis ini punya penyakit lupus. Penyakit yang mengharuskan penderitanya ekstra hati-hati, tidak boleh kena panas matahari dan tidak diperkenankan terlalu lelah. Makanya ia slalu dipilihkan liputan indoor, termasuk hari ini ketika semua kru harus turun ke lapangan.

“Sheila dan Awan ke KPK ya. Di sana ada 2000 demonstran yang bergerak ke istana. Nurma sama bang Fred di HI. Trus Tried sama Karisma di depan istana. Bang Arya juga mau turun VJ (Video Journalist, red) mobile,”Rara membagi tugas.

Semua kru mengitari meja meeting sudah dengan perlengkapan liputannya: kamera, tripod dan microphone berlogo “Persada TV”.

“Gw jangan sama Nurma donk, lemot banget,”Fredy membisiki Rara.

“Justru itu, aku pasangin sama abang. Bang Fred kan bisa bimbing dia,”Rara dengan suara lirih beralasan.

Fredy adalah kamerawan perang senior, gerakannya sungguh gesit. Biarpun liputan biasa, lelaki Ambon paruh baya ini tetap saja berperilaku layaknya dalam area peperangan, lincah dan waspada selalu dalam posisi siaga. Adalah si Nurma, reporter magang berambut panjang yang gayanya lemah gemulai bak model. Sehingga sangat kontras kalo dipasangkan dengan Fredy. Tapi Rara selalu memasangkan keduanya.

“Ra…, gw abis wawancara geser kmana?,”tanya Vian.

“Ntar aja, gw kabari. Udah,udah berangkat dulu aja sana. Bubar, bubar!”

Rara paling risih saat matahari beranjak meninggi sementara kru nya belum menyebar ke lokasi liputan. Padahal Rara merasa kesepian tatkala mereka semua di lapangan. Yang tersisa tinggal Ninik dan Sarah serta para editor, librarian dan bagian teknik. Tapi mereka semua berpencar di ruang kerjanya masing-masing. Namun Ninik dan Sarah kini bergerombol di pojok meja kerja Rara. Memang meja kerja Rara merupakan tempat paling favorit, bersebelahan dengan fasilitas umum, mesin fax dan line telpon. Meja Rara juga tak pernah sepi dari beragam cemilan. Pantas saja anak-anak tivi paling betah bergerombol di sini.

“Lagi bikin apa Ra…?,”tanya Ninik yang lagi ngintip monitor Rara.

“Ini mbak, bikinin konsep profil Wika.”

“Ra…,kmu tuh ati-ati kalo jalan ama anak marketing,”Ninik menasehati.

“Maksudnya?”

“Aku tau kmu kalo kerja tuh tulus, tapi ya jangan lugu. Ntar kmu dimanfaatin sama mereka.”

“Dimanfaatin?” Rara masih belum mengerti.

“Aduh Ra…,kmu tuh pinter tapi polos banget.”

Lalu Ninik menyarankan agar Rara jangan mengobral konsep-konsep program yang dipunyainya. Ia meminta Rara untuk menyimpan harta karun itu sampe terjadi deal dengan klien.

“Kalo aku presentasi dengan bagus, menawarkan konsep yang oke, kan klien nya biar tertarik,mbak…?”

“Iya, tapi abis itu kamu ditinggalin dan konsepmu diambil.”

Rara mengernyitkan kening.

Kriiiing……..kriiiiiiiing…………….

“Persada tivi, selamat pagi,”Rara menyahut telpon.

“Bu, saya Wiwin sekretarisnya dokter Hendrik,”suara perempuan dari seberang kabel telpon.

“Iya bu, ada apa?”

“Gini, saya mau mengabarkan kalo bapak ada acara mendadak dengan bapak gubernur. Jadi wawancaranya, mohon maaf, dipending dulu,”suara dari seberang telpon.

“Ok, bu Wiwin, tolong di reschedule ya bu. Tim kami otw ke sana, nanti biar saya kabari.”

Selagi Rara memencet nomor hape Vian untuk mengabari perihal pembatalan wawancara itu, line telpon local juga berbunyi.

Kriiiiiiiing………kriiiiiiiiiiiiiing………….

“Tivi news,”Rara menjawab telpon lokal antar ruangan.

“Rara…?”

“Siapa nih…?”

“Ari…”

“Oh…knapa mas?”

“Ini Ra, besok kita ada….

“Mas Ari…sebentar ya,aku lagi hubungi Vian, sebentar…tahan ya…,”Rara memegang dua gagang telpon.

“Vian…tadi sekretarisnya dokter Hendrik telpon, wawancara dipending karena beliau mendadak ada acara dengan gubernur.Kamu balik kantor aja!,”pinta Rara.

“Aku geser ke mana?,”tanya Vian.

“Balik kantor aja dulu, kmu belum jauh kan?”

“Baru nyampe budi kemuliaan.”

“Ya udah, balik dulu.”

“Ngga ke DPR Ra…?”

“Sana masih sepi. Balik dulu, mobilnya biar bisa dipake Livia,”tegas Rara seraya menutup pesawat telpon.

Ari masih menunggu dari gagang telpon yang satunya lagi.

“Lagi crowded ya?,”tanya Ari.

“Engga, gak pa pa. Sorry ya mas, iya tadi gmana?”

“Besok kita meeting di Wika. After lunch, nanti jam pastinya gw kabari lagi.”

“Ok.”

“Ya udah, sampe besok ya.”

Menutup telpon dari Ari, Rara menghubungi Nurma yang berada di HI.

“Hallo…”

“Ya mbak…,”sahut Nurma.

“Tadi kabarnya di situ ada yang pingsan saat orasi. Trus di bawa ke rumah sakit dan meninggal. Kalian dapet gambar,nggak?

“Gak tau mbak, ini aku gak tau bang Fredy di mana?”

“Lah…,gmana sih? Cari dulu kameramenmu!”

Lalu Rara coba kontak Sheila di KPK.

“Ya mbak, di sini massa sudah berkumpul seribuan deh. Tapi massa yang lain terus berdatangan menyusul. Mereka lagi bersiap-siap bergerak ke istana,”Sheila nyerocos di telpon seolah laporan live dari TKP.

“Ya udah, bilang Awan suruh ambil gambar follow pergerakan mereka ke arah istana, tapi kalian gak perlu sampe istana. Di sana sudah ada Tried sama Karisma,”jelasnya.

“Ok deh mbak,ntar kalo mulai bergerak aku kabari lagi.”

“Oh ya, jangan lupa wawancara para pimpinan KPK ya.”

Execuse me boss, you have a text message:(ringtone sms Rara)

From : Arya Budiman (628174870521)

Date : 09/12/2009 Time: 09:43:07

Aku dpet wwcr fajrul ya

Rara segera menghubungi Arya, ingin menanyakan di mana posisinya. Sebab Fredy dan Nurma sudah bergerak ke arah BI, bisa saja keduanya bentrok di satu titik. Tapi Arya tak kunjung mengangkat hape nya.

Hari yang diperkirakan akan terjadi chaos di istana ternyata tidak terbukti. Ancaman turunnya puluhan ribu demontrans juga tak terealisasi. Mungkin total dari beberapa titik hanya 5000an pengunjuk rasa,itupun tidak rusuh seperti yang diprediksikan sebelumnya.

*

Finally…, Vian berhasil kabur cuti ke kampung halamannya di Yogya, dua minggu… lagi. Emang ini orang tidak hanya rakus makanan tapi juga rakus cuti. Di saat orang lain belum bisa menggunakan hak cuti karena kesibukan yang tak kunjung reda, bisa-bisanya dia ambil cuti tahunan 2 minggu sekaligus. Sementara Rara pun sukses menghindar dari tugas menjadi produser profil Persada. Beberapa kali mangkir dari meeting, tugas itu dioper ke reporter Wendra.

“Yes…!”teriak girang hati Rara.

Belum genap Rara menikmati kegembiraannya, Wendra tlah menghampiri ke mejanya.

“Ra…bagusnya pake Tag Line nya apa ya?”Wendra meminta saran.

“PERSADA, Merana di Usia Renta. Halah…”Rara menjawab sekenanya.

“Usia matang,mbak…,”Livia memperhalus istilah Rara.

“Serius ah…,”harap Wendra.

“Kok merana?”Livia yang anak baru itu pengin tau.

“Iya, di usia senja Persada malah kehilangan segalanya,”Rara mengawali ceritanya.

Wendra bergabung turut menyimak kisah kejayaan Persada di masa lampau. Dulu Persada tak hanya mengelola industri media tapi banyak bisnis sampingan. Ada hotel, pom bensin, armada bus yang kesemuanya menyumbangkan laba besar buat perusahaan dan karyawan sejahtera karenanya. Tapi kini, Gedung Persada yang merupakan asset paling berharga tlah diserobot perusahaan swasta asing. Dan negara via Komisi I DPR RI belum jua berhasil merebutnya kembali. Dan sekarang Persada tiap tahun disuapin dana PSO.

“Trus kamu mau cerita apa di profil?”Rara menanyai Wendra.

“He…h,”Wendra nyengir kecut dan berlalu memegang jidatnya.

*

Sepekan ini Rara lebih asik meeting keliling dengan klien bersama anak-anak marketing. Buatnya meeting di luar ketemu klien, orang-orang yang berbeda dan beragam itu lebih menyenangkan ketimbang rapat di kantornya sendiri. Setidaknya meeting dengan perusahaan lain materinya lebih penting. Ia melihat umumnya perusahaan di luar sana selalu bekerja seefisien dan efektif mungkin. Mendiskusikan hal-hal yang urgent, lalu diputus dan dilaksanakan selekasnya. Rara sering iri dengan mereka yang bisa dengan lincah bergerak dan berkarya mengeksplor potensi diri.

Pemandangan seperti itu berbeda jauh dengan suasana di kantor Persada. Kantor berita pemerintah ini lebih banyak rapat daripada kerja. Jadi, kerjaannya ya rapat itu. Hal sekecil apapun bisa jadi bahan untuk menggelar rapat. Sampai-sampai ruang rapat utama di lantai 19 Wisma Persada itu tiap harinya antri untuk ditempati acara meeting berbagai departemen/unit yang ada di kantor Persada. Tiap hari pula petugas catering menyiapkan konsumsi rapat.

Suatu ketika melintasi lorong ruang rapat dan berhimpitan dengan meja catering yang menyuguhkan beragam menu “mewah” untuk sebuah acara.

“Duh… kasihan banget uang rakyat buat foya-foya kayak gini,”Rara membatin.

Meeting-meeting itu tak lebih membahas hal-hal normative yang tak mengandung kebijakan konkrit dan segera menuai progress dalam aplikasinya. Kalo ada bahan rapat yang agak serius dikit, maka penyelenggaraannya pindah ke hotel. Dan rapat serius yang melibatkan seluruh biro, diadakanlah rakor di luar kota dan dengan anggaran Negara pula tentunya yang tak lain uang rakyat. Entah karena su’udhonnya Rara atau memang rakor-rakor itu tak membuahkan hasil apa-apa. Yang Rara tau, seusai rapat koordinasi di hotel-hotel di luar kota itu, tak ada revolusi berarti di kantornya.

Itulah kenapa Rara jadi pegawai yang paling rajin mangkir meeting kecuali terkait langsung produksi tivi yang ia tangani. Tapi sore itu Rara duduk manis berseberangan dengan Ewok di meja meeting persegi panjang bersama 40an kru Persada TV.

“Mas Ewok pake pink, dah ke-virus-an Rara tuh,”cela Sandhy yang menyaksikan bosnya pake kemeja pink.

“Engga, kebetulan punya satu ini,”bela Ewok, manajer tivi yang baru.

“Satu lemari, maksudnya?,”timpal Tried.

“Iya, betul kamu,”Ewok sambil cengengesan.

“Konsumsi mana nih…konsumsi?”Shandy si gembul yang doyan makan itu menanyakan.

“Alah…kayak pejabat aja,”celetuk Rara.

“Ada, masih on the way,”jawab Ninik.

“Oke ya, sudah kumpul semua kita mulai ya,”Ewok mengajak memulai meeting.

Dewo Prayogi yang memimpin rapat sore itu menjelaskan tujuan rapat adalah dalam rangka evaluasi tugas PSO yang telah diverifikasi oleh Depkominfo. Setiap tahunnya, Kantor Berita Persada didrop tugas oleh Depkominfo untuk produksi berita tulis, foto dan video dengan tema-tema besar yang mereka tentukan. Untuk unit tivi menerjemahkan tugas itu dalam bentuk TV Magazine berdurasi 24 menit setiap episodenya. Dari enam tema besar, masing-masingnya dijabarkan dalam 13 topik sehingga total 78 episode/tahun. Tahun lalu, tugas ini disubkontrakkan ke para PH padahal kru sendiri pada senewen pengin ada kerjaan. Sungguh,suatu kebijakan yang tak berorientasi pada pengembangan SDM sendiri dan hanya berburu profit besar sesaat.

Namun belakangan diketahui cara-cara subkontrak ini rawan korupsi. Kini, unit tivi berjuang merebut semua tema untuk dikerjakan sendiri. Sebenarnya Ewok sebagai penanggung jawab tivi sempat spot jantung setiap kali produk tivi diverifikasi. Untungnya semua lolos meski dengan banyak catatan.

“Alhamdulillah, semua produk kita lolos ya?”Ewok menyampaikan kabar gembira.

“Horeeee…,yes!”segenap kru di ruangan sorak-sorai.

“Siapa dulu donk…tivi…,”Awan menyombong.

Sebab redaksi tulis dan foto banyak yang didrop karyanya, sementara redaksi tivi lolos 100%.

Tepuk-tangan bergemuruh menyeruak ke seluruh ruang rapat utama. Hanya Rara yang tak mengekspresikan kegembiraan.

“Ra…are you ok?”tanya Ewok.

“Of course, why did you ask like that?”

“Abis kayaknya gak seneng gitu?”

“Biasa aja…!”sahut Rara masih nir ekspresi.

“Ra…ngobrol donk…,”bujuk Alul.

“Aku tuh sedih mas…,”Rara menahan kalimatnya.

“Ya…?”yang lain terperanjat dan nunggu kalimat sambunggannya.

“Sedih knapa?”Ewok penasaran.

“Tiap kalian pergi verifikasi kayaknya mo berangkat mengemis.”

“Iya sih…sidang verifikasi itu area pembantaian,”Ewok menggambarkan.

“Ya gmana lagi, kan mereka juragan. Kita musti ikutilah maunya mereka,”Arya menambahi.

Arya biasa mendampingi Ewok dan beberapa pejabat tivi lain dalam sidang verifikasi yang digelar di sebuah hotel. Setiap 9 atau 10 episode TV Magazine telah tayang di Sun TV, maka digelar sidang untuk menguji tayangan tersebut. Layaknya sidang skripsi, para pimpinan tivi harus mempertahankan setiap serangan tim verifikasi dari Depkominfo.

“Aku juga sakit ati, orang kominfo slalu bilang kalo Persada ini nafasnya hanya dari dana PSO,”Arya mengadu.

“Kayak gitu banget sih.”

“Kita jualan program juga laku kok.”

“Emang gak bisa apa,kita lepas dari PSO?”

Kru tivi saling bersahutan.

“Emang tengil banget tuh orang ya?”Rena membayangkan.

“Yang pak Marto itu ya?”selidik Ponco.

“Dia tuh orang jawa yang pengin diowengke,”terang Ewok.

“Ya udahlah,mau gmana-gmana mereka bokhirnya. Maunya banyak dan kadang ngada-ngada,”kata Arya.

“Contohnya?”Rara pengin tahu.

“Dari judul aja kalo agak puitis, diprotes. Kayak punya si Nunik tuh:”Meniti Jalan Anak Negeri.”

“Aku rasa judulnya Rara ntar juga bakal jadi masalah tuh.”

“Yang mana?”

“Rileks di Nyiur Melambai,”Arya memperkirakan.

“Kayak gitu doang, emang apa masalahnya?”

“Pokoknya mereka tuh maunya bahasanya saklek aja,”terang Ewok.

Rasan-rasan tentang perangai tim verifikasi itu berlanjut kian seru.

“Berarti Pak Marto cs itu gak punya taste bahasa yang bagus dong,”kritik peserta rapat.

“Suruh ikut Susdape# aja.”

“Masa’ separah itu sih?”

“Trus karya kita harus menyesuaikan dengan selera 20 orang itu?”celetuk Alul.

Untuk diketahui tim verifikasi berjumlah sekitar 20 orang.

“Yah…kasarnya gitu deh,”ujar Arya

“Kita kerja buat muasin mereka aja?”susul Alul

“Iya nih, yang menilai tayangan kita kan penonton,”protes yang lain.

“Kalo emang semangatnya untuk membantai dan menjatuhkan, ya susah.”

“Pasti ada aja dicari kelemahan dan kesalahannya,”keluh Ewok yang biasa menghadapikillernya tim verifikasi.

“Kita jadi gak ada harga diri. Padahal banyak yang bisa kita create dari SDM dan equipmentyang kita punya,”urai Rara.

Meeting yang sedianya untuk melakukan evaluasi tugas PSO, segenap kru tivi malah mengevaluasi tim verifikasi. Dasar, gak sopan emang…:p

*

Pada bagian lain, di kota Gudeg Vian seenak hatinya tengah menikmati cuti yang tak seberapa direstui Rara. Meski mereka berdua tak pernah akur kala bersanding di meja kerja, namun sejatinya saling membutuhkan satu sama lain. Berdua biasanya saling meminta asupan ide saat harus menyusun konsep program acara. Belum lagi sisi lain Vian yang unik, jayus, norak, suka nyanyi dangdut “Talak telu” lengkap dengan goyang sundanya. Ia bisa spontan nyanyi dan berjoget di kantor tanpa menunggu momentum apapun yang mengizinkan aksinya itu. Nih anak sebenarnya manis, muka Arab-India dengan rambut ikalnya. Kulit sawo matang (banget,red). Sering mengaku memiliki darah biru karena masih berjuluk Roro keturunan dari Keraton Yogya. Namun adab dan perilakunya jauh dari kesan seorang ningrat. Bahkan Rara menjulukinya tuna etika* dan menyarankannya untuk sekolah kepribadian. Kayak kepribadian Rara beres aja. Keduanya memang gemar saling mencela, namun Rara suka gak kira-kira. Namun juga, istilah-istilah celaan yang dilahirkan Rara banyak followernya di kemudian hari.

Pagi itu Vian masih malas-malasan bangun.

“Hoee…banguuun…!”teriak Vano.

“Gw libur tauuu…”

“Emang gak malu sama matahari?”kakak Vian seraya menyibakkan selimut adik gadisnya itu.

“Duh…knapa sih gak demen banget orang laen bahagia ya?”

“Emang gak demen, gak demen bangeeet.”

“Knapa lu mas?”Vian beranjak bangun melihat gelagat kakaknya kesel.

“Eh lu tuh enak-enak ya, kerja cuta-cuti, cuta-cuti. PNS tuh profilnya malas kayak kamu ya?”

Vano meninggalkan kamar adiknya setelah menyemprotnya dengan serentetan kata-kata sengak. Vian gak enak ati selekasnya menyusul Vano ke meja makan. Tlah duduk di ruang dapur itu Saras, ibu Vian. Ayah Vian sudah lama meninggal karena sakit diabetes yang dideritanya. Saras membesarkan putra-putrinya seorang diri. Di hari tuanya, wanita berusia setengah abad ini hidup hanya bersama pembantunya di rumah besar bergaya joglo seperti lazimnya orang-orang Yogya berada. Minggu ini Saras lagi berbahagia karena Vian yang kerja di Jakarta bisa mengunjunginya, begitu juga Vano. Tapi sayangnya, keduanya malah berantem di hari kedua kebersamaan mereka.

“Ada apa tho ini, pagi-pagi dah rebut,”Saras menegur putra-putrinya.

“Iya nih, orang cuti urusan pribadi kok jadi disangkut-sangkutin ama PNS,”Vian menyela.

“Eh kalian tuh ya, udah digaji Negara pake uang rakyat. Kerja seenak udele.”

Sambil mendengarkan ceramah kakaknya Vian yang doyan makan tetap saja menengadahkan piringnya dan mengeruk nasi goreng yang tersaji di bakul. Saras memungut telur ceplok dan irisan timun untuk selanjutnya ditumpangkan pada nasi goreng Vian yang menggunung di piring.

“Aku engga buk?”protes Vano yang belum dilayani.

“Iya-iya…”Saras melakukan hal yang sama untuk Vano.

“Lagian anak wedhok ae diurusi,”Vano menambahi protesnya.

“Iya dong…weeek…:p.”

“Knapa sih, Vano lagi “dapet” ya?”Saras meledek.

“Empet aja, pegawai kayak gitu kinerjanya?”

“Lho…kok ke situ lagi?”

Saras hanya mengelus dada dan geleng-geleng saja menyaksikan perdebatan kedua anaknya sambung-menyambung.

“Gw tuh kerja mati-matian…,”Vano menepuk meja makan.

“Tiap bulan gaji kami dipotong PPh. Kami bayar pajak lain ini-itu,”Vano menjelaskan dengan mimik serius.

“Kok marahnya ke aku?”Vian yang kadang rada lola (loading lama,red) belum mengerti.

“Ya iya dong, kalian kan digaji dari pajak kami. Ternyata pada santai-santai.”

Kecemburuan Vano membuncah melihat adiknya yang pegawai kantor pemerintah itu sebegitu santai ritme kerjanya. Sementara Vano yang bekerja di PT.Inco sebuah perusahaan tambang di Pulau Sulawesi, tiap bulan harus merelakan gajinya dipotong Rp.3 juta guna membayar PPh. Padahal kerjanya sebagai enginer sangat berat, mengawasi nikel panas. Ia rajin bekerja serta jarang libur untuk mendapatkan gaji besar. Sedihnya, Negara merenggut gajinya berjuta-juta tiap bulannya. “Mending kalo pemerintah membelanjakannya secara bermaslahah,”gerutu Vano dalam hati. Begitu pula yang terjadi pada teman-teman sekerjanya dan tentu saja semua pegawai perusahaan swasta di luar sana, yang terpotong gajinya secara otomatis untuk PPh.

Sadisnya, Vano merasa gaji yang diterima tidak sepadan dengan besarnya skala pembangunan di daerah itu. Bahkan ia yang telah rutin membayar pajak, masih saja dipersulit oleh kantor pajak saat mengurus NPWP untuk kredit rumah. Sedangkan Vian adiknya, memperoleh kartu NPWP secara otomatis dari kantor tanpa sedikitpun kesusahan mengurusnya. Vano jadi “dendam” melihat PNS yang gak beres kerjanya.

Belum usai pertikaian kakak-beradik ini, bunyi ponsel Vian menginterupsi.

Kantor

memanggil…

“Hallo…”

“Vian…”

“Mbak Ninik ya, tanganku langsung kedutan nih kalo bagian keuangan yang telpon.”

“Iya nih, ada bonus PSO yang 10 episode terakhir. Mau ditransfer atau…”

“Ditransfer aja mbak,”bergegas Vian memotong kalimat.

“Bonus HUT juga masuk hari ini lho.”

“Wah…ini cuti berlimpah rejeki nih,baru juga gajian,”Vian berekspresi riang gembira.

Saras yang mendengar kabar dari kantor putrinya turut senyam-senyum. Kecuali Vano yang lebih sewot.

“Kasihan Negara ya, membayari orang cuti,”Vano menyindir seraya berlalu meninggalkan meja makan.

*

#Kursus Dasar Penulis, sebuah pelatihan yang fardhu a’in diikuti setiap calon jurnalis di Kantor Berita Persada

*Yang sabar ya Vian, Rara emang suka semena-mena kala mencela.

Impian Karam di Kantor Berita

Desember 30, 2009 at 4:30 am

CLOSED

Inna lillahi Wa inna Illaihi Roji’un

Telah mati dengan cara bunuh diri:

Kantor Berita Tivi

“PERSADA”

Satu demi satu kru Persada TV yang masuk ke kantor pagi itu, tersentak membaca “pengumuman” yang tertera di pintu masuk ruang redaksi tivi. Ada yang ternganga, terpaku hingga yang histeris.

“Ada apa sih ini?,”teriak Rena begitu membuka pintu. Kru yang sudah berada di dalam ruangan tak menyahut, hanya saling berpandangan.

“Ada apa donk…cerita donk!,”pintanya tanpa muka menghiba. Tak sedikitpun memperoleh jawaban. Semua terdiam.

Awan hitam kelam menggelayuti langit di atas Tugu Monas, pagi itu. Seolah berarak kea rah Wisma Persada, tempat di mana Persada TV berkantor. Pemandangan itu tentunya sangat jelas terlihat, karena Persada TV menempati lantai 19 bagian pojok dengan view Tugu Monas dan Istana Negara di seberangnya. Waktu menunjukkan pukul 07.00, segenap kru TV telah duduk rapi berderet di meja kerja masing-masing, sekilas sih kayak tempat les computer. Soalnya semua tengah khusyuk bercengkerama dengan layar monitor computer masing-masing. Tak ada secuil suara pun mengudara. Entah kenapa, pagi itu awak TV seperti sedang dihinggapi firasat buruk.

Saat Brahmana hendak memasuki ruangan, tak ketinggalan turut tertegun_seperti kru lain_membaca tulisan “Closed” di pintu. Meski begitu ia tetap berusaha menguasai diri.

“Assalamu’alaikum. Hallo…everybody, morning…,”sapa Brahmana yang memasuki ruang TV memecah keheningan.

“Morning…wa’alaikum salam,”sahut anak-anak.

“Ra…,”panggil Brahma.

“Yes sir,”Rara menyahut.

“Siapa yang memasang tulisan itu?”

“Kenapa nanya ke saya?,”Rara pura-pura tak bersalah.

“Memang saya perlu tanya yang lain?”

“Kenapa sih slalu saya yang jadi tersangka?”

Walau tegang tapi Direktur Persada TV itu masih berusaha memasang wajah ramah. Rara, Vian, Rena, Ozi, Karisma dan Randu serta kru TV lain tetap bisa menangkap gelagat ketidakberesan itu. Sebelum sempat saling menanyakan perihal yang terjadi…

“Perhatian, perhatian…tolong semuanya kumpul. Saya ingin menyampaikan hal penting,”ajak Brahma.

Dalam sekejap sekitar 40 orang kru inti televisi telah mengitari meja bundar.[‡]

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.”

“Wa’alaikum salam,”mereka menjawab secara koor.

“Teman-teman mohon maaf sebelumnya. Sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas hidup matinya TV ini, saya harus menyampaikan keputusan yang paling pahit ini,”Brahma mengawali.

Ia tak segera melanjutkan kalimatnya, pandangannya mengitari seluruh wajah anak buahnya. Yang dipandangi bukannya pada nunduk, malah balik nantang seolah meminta jawaban.

“Ok, terhitung mulai hari ini, 24 November 2007 seluruh kegiatan yang berkenaan dengan liputan di lapangan saya bekukan.”

“Haa…..,”teriak Rara (pura-pura kaget, padahal ia telah mengendus isu itu sebelumnya) “Haa…hhh,”anak-anak lain terperanjat.

“Innalillahi,”ucap Ozi sembari menunduk.

“Tunggu-tunggu…tidak liputan bukan berarti tivi kita mati,”Brahma bergegas mengklarifikasi.

“Trus apa namanya?”timpal Rara

“Konsolidasi ke dalam, mencari format tivi? Kita udah hafal pak, apa maksud istilah-istilah yang menghibur seperti itu,”protes Ozi.

“Brenti liputan news? Brenti aja jadi kantor berita!”ucap Rara ketus.

“Ra…!”pekik Brahmana berang.

“Selama ini aja kita dah tekanan batin pak, karena tayangan news kita tidak real time. Apalagi sampe brenti?”Rara tidak kalah galak.

Rara sering malu kalo ditanya teman, liputanya kapan tayang? Tidak seperti yang lain TV swasta, beritanya tayang tiap hari. Persada TV hanya merangkum News Magazine yang tayang seminggu dua kali.

Rara dan Ozi memang sejak awal menyita-citakan bahwa Persada TV menjadi The Real News Agency, dengan memproduksi berita tivi berkecepatan tinggi. Rara menggagas program “Berita Seketika” yang memungkinkan setiap peristiwa actual tercover secara cepat, segera tayang dalam hitungan menit setelah peristiwa terjadi. Pun direlay oleh seluruh TV local di daerah dan di share ke berbagai kantor berita asing. Tak hanya cepat tapi coverage nya juga harus mendunia. Begitulah seharusnya kantor berita tivi, fitrahnya melayani banyak layar.

Setiap kali Rara ditanyai apa bedanya TVRI dan Persada TV yang sama-sama tivi pemerintah. Rara mengibaratkan, TVRI sebagai nabi sedangkan Persada TV adalah rosul. Nabi memperoleh wahyu untuk dirinya sendiri dan begitulah TVRI, liputan untuk tayang di layarnya sendiri. Sedangkan rosul mendapat wahyu untuk disebarkan kepada ummat secara luas. Begitu pula dengan Persada TV yang kodratnya sebagai kantor berita. Entahlah, apakah pengibaratan Rara ini tidak terlalu berlebihan? Tapi emang dua makhluk_yang ngga sejoli_ ini kan selalu lebay dalam banyak hal.

Dan untuk ukuran sebuah kantor berita nasional seperti Persada, menurut Rara merealisasikan itu semua bukan hal yang sulit. Sebab, hampir segalanya dimiliki oleh Persada TV. Mulai dari peralatan canggih, kekuatan biro di seluruh propinsi hingga daerah terpencil di seantero Indonesia serta biro-biro di luar negeri. Kru Persada TV merupakan SDM terpilih karena dari ribuan pelamar _saat itu_Departemen HRD memberi unit tivi orang-orang dengan kualitas terbaik.

Untuk menjadikan produksi berita tayang secara mendunia? Apa susahnya, toh sebagian besar kantor berita asing di Indonesia berkantor di gedung Persada juga dan selama ini secara informal telah terjalin kerjasama yang akrab. Jadi, kalo sampe setahun usia Persada TV belum menjadi kantor berita tivi yang sesungguhnya, bagi Rara menyalahi kodrat. Ini akibat para pemimpinnya malas “bermimpi” dan bercita-cita, salah satunya adalah Brahmana. Banyak kru tivi yang empet ngliat kelakuan Brahmana, bisanya hanya bangga dengan masa lalunya yang pernah jadi presenter RCTI. Tapi terbukti gagal membawa gerbong Persada TV ke kancah global. Malah hari ini ia membunuhnya.

“Begini ya, tolong dipahami. Saya mulai capek disindiri oleh para petinggi lembaga, bahwa tivi ini tidak menghasilkan apa-apa. Padahal operasional tivi ini highcost. Makanya saya tidak mau memperpanjang kontrak tayang di Q-TV, yang per tahunnya Rp.900 juta itu? Saya yakin, kalau saja marketing dari lembaga jalan, dua program unggulan kita itu menghasilkan banyak uang.”

“Knapa sih, bisanya hanya nyalahin orang lain?”kejar Rara.

“Jiwa dan darah kami tuh journalist, jadi gak bisa tanpa news,”Ozi menegaskan.

“Kecuali kalo kita mo jadi PH (Production House,red),”Vian menimpali.

“Kantor berita kok gak bikin berita,”sindir Randu.

Bos tivi itu lalu mengurai lagi panjang lebar alasan dihentikannya liputan, sambil terus menyelipkan kalimat-kalimat yang mengandung harapan bagi kelangsungan tivi ke depan. Tapi anak-anak tivi terlanjur ngrasa dihentikannya liputan berarti dunia runtuh dan kiamat. Sebab selama ini Persada TV telah mendeklarasikan diri sebagai kantor berita tivi. Farari, Kepala Redaksi TV yang turut dalam rapat itupun tak kuasa membela Brahma.

“Oke ya, pertemuan ini saya tutup dulu. Kegiatan selanjutnya kita bahas dalam meeting sore nanti. Silakan semua yang memiliki ide-ide segar untuk program baru, nanti kita bedah. Wassalamu’alaikum,”Brahma menutup.

“Betapa hatiku tak kan pilu, telah gugur televisi,”Rara mengiringi penutupan rapat dengan lagu “Gugur Bunga.” Ozi menyahuti, berdua menyanyikan lagu kematian itu sambil ngloyor ke arah studio. Anak-anak tivi yang lain berhamburan ke sudut-sudut ruangan mencari tempat untuk mengekspresikan kemarahannya dengan gaya masing-masing.

“Segenap hatiku luluh lantak, mengiringi dukaku…,”si manusia kabel[§] bersenandung pilu dengan lagu Samsons.

***


[‡] Meja sakral yang terletak di tengah ruangan redaksi TV. Biasa digunakan untuk meeting redaksi, tempat terjadinya pertikaian konsep dan pendapat hingga pertumpahan kata-kata.(lu pikir pertumpahan darah?wkwkwk)

[§] Awan, kamerawan bertubuh kerempeng dililiti banyak kabel, mulai dari kabel handsfree, digital multi player dll. Potongan rambutnya, membuat ia dipersamakan dengan vocalis kangen band


Gara2 Ra2

Desember 30, 2009 at 4:24 am

Kenalkan, Rara…

Nama lengkapnya Digita Sahara,cukup dipanggil Rara.

Kalau ada kegaduhan, di manapun berada pastilah Rara yang bikin gara-garanya. Celakalah barangsiapa yang sempat mengenal Rara dalam hidupnya. Waduuuh…,jangan sampe deh jadi korban keisengan dan kejailannya. Dara mungil berambut kriwil, kelakuan jahat tiada tara.

Tapi banyak teman yang menikmati kebersamaan dengannya. Bersamanya adalah saat yang menyenangkan, bisa tanpa beban melakukan hal-hal yang teramat gokil sekalipun. Sayang…, ia berada di lingkungan kantor berita “plat merah” (lingkungan PNS/Pengawai Nyantai Sekali). Pastilah pergerakan Rara yang jumpalitan sana-sini jadi pemandangan aneh bagai alien. Profesinya sebagai produser dan presenter Persada TV banyak diterpa masalah, karena dianggap sering menabrak rambu-rambu birokrasi.

Beruntung punya teman Ozi yang turut melegitimasi ke”gokil”an Rara. Pertikaian demi pertikaian menyeruak dari ruang redaksi Persada TV, kebetulan Rara jadi pemicunya. Di luar gemerlap kariernya, dalam ranah asmara_dipandang_ Rara bertaburan cowok. Ada dua golongan yang berbeda pandangan. Golongan pertama menganggap Rara playgirl. Sedangkan golongan yang lain sebaliknya, menilai Rara anti cowok karena luka hatinya di masa silam. Silahkan, menilai dia semaumu…!!! Dua-duanya salah, weeek…:p karena sesungguhnya Rara punya cinta yang tak terungkap. Kais misterinya di Gara2 Ra2!!!